Senin, 20 Juni 2016

Resensi Buku "Peradaban Tionghoa Selayang Pandang"



Peradaban Tionghoa Selayang Pandang

Karya : Nio Joe Lan

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia

Tahun : 2013

Tebal Halaman : 364 halaman








Peradapan Tionghoa telah ratusan tahun lamanya mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sebagian ajaran filsafat karya sastra perayaaan hari besar, ilmu dagang, arsitektur, tata cara kematian yang sudah kita ketahui sampai saat ini hingga kulinernya telah berkembang dan menjadi bagian dari budaya Indonesia di masa kini.


Nio Joe Lan (1904-1973), penulis melayu Tionghoa terkemuka di zamannya, dalam buku “Peradaban Tionghoa Selayang Pandang” makna berbagai leluhur atau adat kebiasaan Tionghoa yang sering kita jumpai seperti : peringatan hari-hari besar Tionghoa, makna yang terkandung dalam kebudayaan Tionghoa, pemujaan leluhur dan bakti anak kepada orangtua, peristiwa duka cita dan suka ria Tionghoa, kaligrafi, dan perhitungan shio


Orang Tionghoa mempunyai sebutan-sebutan kekeluargaan terpenting, tetapi dalam sebutan-sebutan keluarga berdasarkan dialek Hokkian, dialek Hakka berbeda maknanya satu sama lain. Seorang Tionghoa menyebut orang yang lebih tua baik laki – laki maupun perempuan dengan sebutan Engko, Empe, Encek, Ai, Ii, emak, omah, dsb meskipun tidak ada hubungan persaudaraan tetapi kita dapat menghormati orang lain yang lebih tua dengan mengangapnya sebagai Kakak dari Ayah serta begitupun sebaliknya.


Makna kehidupan orang tionghoa sangatlah penting bagi kehidupan manusia. Karena manusia memiliki ketertarikan pada, maka tersusunlah kebudayaan pada beberapa bangsa dan agama. Kepercayaan Tionghoa tentang apa yang dipandang sebagai agama. Seperti pengajaran Kung Tze, Tiong Hoa Hwee Koan dan konfusianisme (Kong Huchu), Taoisme Lao Tze, pemujaan berhala Budhistis di dalam rumah, Kuan Yin, Taopekkong – pelindung, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan sembahyang. Ini merupakan tradisi atas kepercayan leluhur Orang Tionghoa. Pada dasarnya orang Tionghoa memiliki kepercayaan bahwa ia memiliki perlindungan oleh Tuhan Yang Maha Esa.


Orang Tionghoa memiliki kebiasaan untuk menghormati leluhurnya dengan cara menyajikan makanan untuk mendiang orang yang telah meninggal. Hal ini sudah dilakukan sebelum zaman Kung Tze. Dengan aggapan bahwa arwah manusia yang hidup terus akan dilindungi oleh arwah leluhur. Orang Tionghoa menyebut bakti. Bagi orang Tionghoa bakti terhadap orang tua menunjukkan sifat yang diterima anak tersebut apabila orang tuanya baik maka anaknya tidak akan mewarisi hal yang berkejauhan. Dalam pengajaran Kung Tze pemujaan leluhur dengan memelihara abu dirumah merupakan bakti, kewajiban tersebut harus diturunkan kepada anak laki-laki sebagai pewaris sehingga pada jaman ini memiliki anak laki-laki diharuskan. Kaligrafi yaitu ilmu menulis huruf indah. Dalam menulis huruf tionghoa seseorang harus memiliki perasaan dan dalam penulisannya menggunakan alat yang bernama ‘pit’ agar tulisan tersebut terlihat indah.


Hari raya Tionghoa berhubungan dengan hari ulang tahun dewa-dewa yang dipuja oleh bangsa tionghoa. Tetapi di Indonesia tidak semua hari raya tionghoa dirayakan secara meriah. Hari raya tionghoa yang biasanya dirayakan diIndonesia yaitu Imlek yang merupakan hari tahun barunya orang tionghoa, Tjap Go Meh biasanya orang tionghoa melakukan sembahyang ‘sam kai’ yaitu sembahyang kepada langit, bumi dan manusia, Tjeng Beng biasanya orang tionghoa mengunjungi makam leluhur ataupun keluarga yang sudah meninggal dengan mengurusnya dan bersembahyang leluhur, Phetjun karena phet itu artinya 100 serta jun yang artinya perahu biasanya orang tionghoa merayakan dengan mengadakan perlombaan berupa 100 perahu berbentuk naga diatas air dan perayaan peristiwa munculnya bacang.


atau yang disebut siu-I ‘baju panjang umur’. Orang tionghoa mengartikan wafat seperti sebuah kiasan lain yang juga banyak digunakan ialah bahwa berpesiar ke kalangan dewa-dewa ataupun menunggang seekor burung bangau, dimana kedua itu mempunyai asal Taoistis. Satu antara hal yang dilakukan pertama-tama dalam soal kematian ialah membeli sebuah alat penancap batang dupa ‘hio-lou’ yang ditempatkan diatas meja yang ditaruh disamping jenazah dekat kakinya. Selain itu anggota keluarga memakai pakaian dari kain belacu putih yang dikenakan terbalik dan juga kopiah dengan bahan itu pula untuk para anak dan menantu laki-laki. Sembahyang yang diadakan dalam upacara kematian adalah sembahyang masuk peti, sembahyang menggeser peti, sembahyang hari kubur yang dimana sebuah semangka dipecahkan yang kata nya untuk dibawa keakhirat nanti dan dipersembahkan kepada Giam Lo ong ‘Raja akhirat’. Setelah itu diadakannya sembahyang tujuh hari yakni membakar rumah-rumahan kertas mobil/motor kertas dan sebagainya. Dalam perkabungan tersebut perkabungan enteng dinamakan memakai biru sedangkan perkabungan besar disebut memakai putih dengan lama nya 3 tahun menurut peraturan peradaban tionghoa. Dan juga ada bongpay yang merupakan peradaban tionghoa sudah dari sejak SM berupa cara penghormatan yang dilakukan dengan menuliskan isi dari silsilah keluarga yang berhubungan serta juga adanya sian koong (untuk 2 orang), dan sian boong (untuk 1 orang).


Shio, 12 Jenis Binatang Perhitungan Tahun. Bangsa tionghoa menghitung jarak waktu dengan kesatuan yang terdiri atas 60 tahun, tiap kesatuan itu terjadi dari 5 kali 12 tahun. Ke dua belas tahun ini dilambangkan masing-masing dengan seekor binatang ‘Cap ji shio’ yakni tikus, kerbau, harimau, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, kera, ayam, anjing dan babi. Pergantian tahun melibatkan pergantian shio dimana umur seseorang dapat dihitung dilihat berdasarkan shio. Perbedaan 6 tahun untuk perjodohan dalam perhitungan shio sangat pantang oleh orang tionghoa. Selain itu juga terdapat pantangan – pantangan ciong pada shio – shio tertentu yang tidak boleh dilakukan saat ciong terjadi.


Sastra Indonesia-Tionghoa itu sampai pada suatu batas bertalian agak erat dengan penerjemahan hasil sastra Tiongkok ke dalam bahasa Melayu-Rendah. Penerjemah cerita-cerita rakyat Tiongkok ini ke dalam bahsa Melayu-Rendah telah dimulai pada akhir abad ke-19. Tiongkok tidaklah terlalu dikenal oleh kebanyakan orang Tionghoa kelahiran Indonesia. Bahkan hampir sebagai sebah negri asing begi mereka.


Simbolik Tionghoa dalam Indonesia cukup banyak dan mengandung makna tersendiri dari setiap simbol, seperti : burung bangau dan buah pir melambangkan umur panjang, pohon bambu lambang keuletan, naga lambang kekuasaan kekasisaran, kelelawar lambang bahagia, ikan lambang berlbih-lebihan, pohon cinta kasih, dan sepasang kupu-kupu lambang cinta kekal.Dan pada akhir buku ini menjelaskan tentang kehidupan kesenian orang Tionghoa dari beberapa hasil seni Tiongkok yang terjadi dalam kehidupan orang tionghoa di Indonesia. Orang Tionghoa datang ke Indonesia dengan membawa kepercayaan mereka, Budhistis maupun Taoistis dengan beradaptasi pada budaya asli Indonesia yang berakulturasi dan dengan seiring perkembangan zaman. Ras asli Indonesia perlahan mengetahui adat istiadat ras Tionghoa.












Sabtu, 18 Juni 2016

Peh Cun 2016



BACANG
Sejarah Bacang

Pada zaman dahulu di Tiongkok, negeri Qin adalah paling kuat dan agresif sehingga sering melakukan serangan terhadap enam negeri lainnya. Qu Yuan adalah seorang menteri besar yang adil, setia, dan yang jujur.  Qu Yuan adalah tokoh yang berhasil menyatukan enam negeri untuk menghadapi agresi negeri qin, sehingga namanya disegani di negeri qin. Pada masa Zhan Guo, Raja Chu Huai menolak prakarsa Qu Yuan untuk berkoalisi dengan Negara Qi dan berperang melawan Qin, namum diperdayai oleh Zhang Yi ke Negara Qin, ia dipaksa merelakan wilayah berikut kota-kotanya. Raja Qu Huai selain merasa dipermalukan juga terhina, menjadi risau hatinya dan tak lama terserang penyakit dan mangkat di Negara Qi. Qu Yuan pernah menghalangi Raja Chu Huai Wang untuk memenuhi undangan raja negeri qin ke ibukotanya. Namun Raja Chu Huai Wang telah di adu domba dari negeri qin, sehingga hubungan dengan Qu Yuan menjadi renggang dan tidak mempercayai saran Qu Yuan. Akhirnya Qu Yuan menceburkan  diri ke sungai Mi Luo dan beberapa nelayan yang mengetahuinya berusaha menolong tetapi tidak berhasil. Jenazah Qu Yuan tidak ditemukan dan ia meninggal pada usia 62 tahun. Seluruh negeri chu bersedih saat mengetahui Qu Yuan meninggal, lalu seluruh rakyat mencarinya dengan 100 perahu yang disebut Peh Cun. Karena pada saat Peh Cun air sungai sangat tenang sehingga bisa melihat hingga ke dasar sungai dikarenakan bumi, matahari dan bulan sejajar. Namun mereka tidak berhasil menemukan jenazahnya.  Saat Qu Yuan menceburkan diri ke sungai mi luo, ada seorang bertemu dengan arwah Qu Yuan bahwa rakyat-rakyat yang menghormati Qu Yuan sehingga seluruh rakyat menggunakan tambur untuk memanggil hewan-hewan disungai lalu melempar nasi yang dimasukkan ke daun bambu ke sungai supaya dimakan oleh ikan, udang dan hewan lainnya sehingga hewan-hewan tersebut tidak memakan jenazah Qu Yuan. Maka Qu Yuan berpesan kepada orang itu untuk menyampaikan kepada seluruh orang supaya mempersembahkan makanan yang dibungkus dengan daun bambu dan dipersembahkan setiap tanggal 5 bulan 5 imlek.  

Resensi Film "Tanda Tanya"

Sutradara : Hanung Bramantyo
Produser : Celerina Judisari, Hanung Bramantyo
Penulis : Titien Wattimena
Pemain : Reza Rahadian, Revalina S. Temat, Agus Kuncoro dkk


Film "tanda tanya " memiliki fokus pada hubungan antar agama di Indonesia, sebuah negara di mana konflik agama menjadi hal yang umum, dan ada sejarah panjang kekerasan dan diskriminasi terhadap Tionghoa Indonesia. Alur cerita film menceritakan tentang tiga keluarga yang tinggal di sebuah desa di Semarang, Jawa Tengah: keluarga Tionghoa-Indonesia dan beragama Buddha, Tan Kat Sun (Hengky Solaiman) dan anaknya Hendra (Rio Dewanto), pasangan muslim, Soleh (Reza Rahadian) dan Menuk (Revalina S. Temat), dan seorang konver Katolik Rika (Endhita) dan Abi anaknya yang seorang Muslim.

Sun dan Hendra menjalankan sebuah restoran masakan Tionghoa yang menyajikan daging babi, yang dilarang bagi umat Islam, meskipun restoran memiliki klien dan staf Muslim. Untuk memastikan hubungan baik dengan karyawan muslim dan pelanggannya, Sun menggunakan peralatan khusus untuk mempersiapkan daging babi di mana ia tidak mengizinkannya untuk digunakan untuk hidangan lainnya, dan memungkinkan stafnya memiliki waktu untuk shalat, ia juga memberi mereka liburan selama Idul Fitri, hari libur Muslim yang terbesar. Salah satu karyawannya adalah Menuk, yang mendukung Soleh, suaminya yang menganggur. Rika adalah teman Menuk dan terlibat dengan seorang aktor muslim yang gagal, Surya (Agus Kuncoro).

Pada usia 70-an, Sun jatuh sakit, dan restoran diambil alih oleh Hendra, yang memutuskan itu akan melayani secara eksklusif masakan dari daging babi dan mengasingkan pelanggan Muslimnya. Hendra masuk ke dalam konflik dengan Soleh atas Menuk, Hendra yang sebelumnya pernah menjadi kekasihnya. Menuk menjadi semakin tertekan setelah Soleh mengatakan kepadanya bahwa ia berencana untuk menceraikannya, dan mereka didorong untuk berpisah. Rika merasa stres karena bagaimana dia telah dirawat oleh tetangganya dan keluarganya yang telah berpindah agama ke Katolik dari Islam, Abi juga menghadapi pengucilan. Sementara itu, Surya dan Doni (Glenn Fredly) bersaing untuk kasih sayangnya. Surya marah atas kegagalan untuk menemukan pekerjaan akting yang baik.

Soleh bergabung dengan kelompok amal Islam, Nahdlatul Ulama (NU), berharap untuk mendapatkan kepercayaan. Meskipun ia awalnya enggan untuk melindungi keamanan gereja, ia akhirnya mengorbankan hidupnya ketika ia menemukan bom telah ditanam di sebuah gereja Katolik. Dia bergegas keluar dengan bom, yang meledak di luar gereja, membunuh Soleh tapi jauh dari jemaat. Sun meninggal ketika restoran, yang saat itu tidak tutup untuk menghormati Idul Fitri, diserang oleh sekelompok umat Islam. Setelah serangan itu, Hendra membaca 99 Nama Allah dan memeluk Islam, ia mencoba untuk mendekati Menuk, meskipun tidak jelas apakah ia akan menerima dia. Surya menerima tawaran dari Rika untuk memainkan peran Yesus di gerejanya pada saat perayaan Natal dan Paskah, di mana ia menerima bayaran yang tinggi setelah ragu-ragu karena takut bahwa hal itu akan bertentangan dengan agamanya, setelah perayaan tersebut dia membaca Al-Ikhlas di dalam masjid. Rika mampu memperoleh restu orangtuanya untuk perpindahan agamanya.

Pendapat saya kalau dari sudut pandang, saya sempat berfikir bahwa film ini memang bisa "menyesatkan". Akan tetapi penilaian saya perdalam lagi setelah memahami isi pesan film secara keseluruhan. Ternyata nilai dari sebuah perbedaan itu sangat berharga, kita diedukasi dan ditantang untuk dewasa di tengah masyarakat yang plural ini.

Saran : Bagi yang sudah menonton tetapi belum mengerti jangan terlalu mebeda bedakan agama satu sama lain.Walaupun beda agama dan kepercayaan, tapi mereka ( penganut agama lain )juga manusia yang harus dihargai. Permusuhan agama,bukan karena agama itu sendiri tapi karena orang- orang yang mengatasnamakan agama untuk kepentingan pribadi.

Rabu, 15 Juni 2016

Pertanyaan yang sering muncul dalam adat istiadat Tionghoa

Mengapa Imlek, Cengbeng dan Peh Cun diakui dalam agama Tao, Khunghucu dan Buddha?
Jawaban:

Menurut pendapat kami, Cengbeng, peh cun dan imlek sebenarnya tidak ada kaitannya dengan agama Tao dan Buddha karena ajaran Tao itu banyak yang berpendapat seperti ajaran mistis dan sekarang ajaran Tao sudak tidak ada lagi karena kitab suci Tao sudah dibakar. Sedangkan agama Buddha pun tidak ada kaitannya dalam Imlek, Cengbeng dan Peh Cun karena Pangeran Siddharta Gotama lahir di India sehingga tidak tau-menau tentang tradisi seperti ini, tetapi bila umat Buddha mau melaksanakan tradisi ini tidak ada larangannya karena agama Buddha sifatnya Universal. Dan yang terakhir agama Khonghucu, khonghucu sering disebut sebagai Kong Jiao atau Ru Jiao. Agama Konghucu menetapkan Tahun Baru Imlek sebagai hari raya keagamaan resmi dan kalender Imlek pertama kali diciptakan oleh Huang Di seorang Nabi Agung dalam agama Khonghucu, Cengbeng itu sendiri tradisi dari agama Khonghucu untuk mengajarkan setiap anak untuk memiliki rasa bakti kepada kedua orang tua atau para leluhur dengan cara melakukan tradisi ceng beng setiap tahunnya. Sedangkan Peh Cun dalam agama khonghucu sudah ada sejak dahulu tradisi ini dilakukan setiap tanggal 5 bulan 5 penanggalan imlek, sehingga tradisi Peh Cun lebih diakui dalam agama Khonghucu

Kamis, 09 Juni 2016

Resensi Film History of China Benteng

Film Dokumenter Durasi 9.30 menit

History of China Benteng

Di Tangerang ada sekelompok etnis yang dapat dikatakan menarik yaitu etnis Cina Benteng. persebaran Cina Benteng di Tangerang cukup banyak, seperti di Mauk, Neglasari, Karawaci dan tempat lainnya. Yang paling menonjol adalah masyrakat Cina Benteng yang tinggal di tepi sungai Cisadane. Umumnya, mereka memiliki kulit sawo matang atau gelap, mata tidak terlalu sipit, tidak bisa berbahasa Cina dan perekonomian yang kurang memadai dibandingkan dengan etnis Tionghoa yang lain yang ada di Indonesia.

Warga Cina Benteng dikenal hidup sebagai petani, pedagang, peternak, nelayan. Sebagian bersuami/istri penduduk asli dari Indonesia, sehingga tradisi mereka telah berakulturasi dengan tradisi kaum Pribumi, tak terkecuali dalam bidang kesenian seperti cokek dan gambang kromong.

Kini, tanpa kita sadari keberadaan warga Cina Benteng seringkali tersingkirkan dari kehidupan hiruk pikuk kota Tangerang. Padahal, banyak hal yang dapat dibanggakan dari keturunan Etnis Tionghoa ini. Mereka tetap melestarikan budaya leluhur dan tradisi Tiongkok. Kehadirannya dapat dijumpai dengan “meja abu” yang terletak di dalam rumah masing-masing, dimana para anggota dapat menjalankan ritual penghormatan kepada arwah keluarga yang sudah meninggal. Selain itu, upacara pesta perkawinan pasangan Cina Benteng dilakukan sebanyak dua kali. Pesta tersebut dibedakan berdasarkan perbedaan makanan yang disajikan. Bagi non-Muslim biasanya disajikan babi panggang Tangerang dan minuman Bir. Pada pesta perkawinan juga dimeriahkan dengan musik Gambang Keromong dengan lagu-lagu favorit seperti : Cinte manis berdiri, pecah piring, semar gurem dan onde-onde, dsb. Disertai pula tarian Cokek yang umumnya datang dari daerah sekita Krawang yang dianggap belum “afdol” jika tidak ada penari cokek yang terlihat sensual itu
1. Peh Cun.
Warga Cina Tangerang masih merayakan tradisi Peh Cun diisi dengan perlombaan perahu naga di Sungai Cisadane yang membentang tenang. Peh Cun merupakan sebuah tradisi yang diadakan sejak tahun 1911 di Indonesia yang sempat terhenti pada tahun 1965 akibat geger politik.
Perayaan Cap Go Meh menjadi ciri khas warga Tangerang yang dirayakan sebagai upaya pengenalan keagamaan dan keyakinan Warga Tiongjoa terhadap budaya Tiongkok yang sudah dilaksanakan secara turun temurun.
Bertempat di Klenteng Boen Tek Bio, yang berada di Jalan Bakti No.14 Kawasan Pasar Lama, Tangerang, acara dimeriahkan dengan ttarian Barongsai yang lucu dan energik, tarian liong yang meliuk-liuk diiringi tabuhan genderang, serta perpaduan suara gong dan gemerincing yang menambah kemeriahan acara tersebut.
2.     Cio Tao
Cio Tao merupakan pernikahan berdasarkan adat di kebudayaan masyarakat Chinese. Biasanya kegiatan Cio Tao ini diadakan di rumah pengantin masing-masing di pagi hari, sepagi mungkin. Mengapa? Karena konon, aapabila melakukan adat ini di siang hari, rezeki untuk pengantin itu bisa habis.. Oleh karena itu, Cio Tao harus dilakukan pagi hari.
Di dalam kegiatan Cio Tao ada beberapa ritual yang dilakukan. Seperti contohnya sembahyang, menginjak nampan yang berwarna merah dan bergambar Yin dan Yang, menyisir rambut, sawer uang, dan masih banyak lagi. Berikut ini akan saya bahas satu per satu.
Pertama-tama biasanya orang tua dari mempelai akan melakukan sembahyang terhadap leluhur, kemudian dilanjutkan dengan penuangan arak sebanyak 3 kali ke lantai.
Setelah orang tua mempelai yang melakukan sembahyang, barulah si mempelai yang melakukan sembahyang kepada leluhur.
Setelah itu pengantin akan dibawa masuk dan diminta untuk duduk di sebuah kursi dengan kakinya berada di dalam sebuah nampah. Nampah yang berwarna merah dan terdapat gambar Yin dan Yang. Ketika pengantin menginjak nenampah itu, dilarang menggeser nenampah itu sama sekali.
Setelah itu ada seorang anak kecil dari pihak pengantin, yang dinamakan secek. Secek ini diminta untuk menyisir rambut pengantin dari bawah kepala sampai ke kaki. Konon katanya mengapa harus disisir sampai ke kaki? Agar suatu saat dalam menjalani bahtera rumah tangga, apabila ada cekcok sedikit bisa langsung diluruskan saja dengan baik-baik.
Setelah itu pengantin akan duduk bersama secek dan memakan semangkuk nasi dengan 12 macam lauk pauk yang berbeda menggunakan sumpit.
Nah, sehabis sesi makan nasi dengan 12 lauk pauk ini, dilanjutkan dengan memakan nasi dengan gula, nah pas makan gnasi cocol gula ini disuapin sama orang tua masing-masing mempelai. Mungkin hal ini dimaksudkan agar nanti selama menjalani bahtera rumah tangga manis-manis terus jalannya seperti gula..
Selanjutnya, dilanjutkan dengan acara saweran.. Pengantin akan berjalan berdampingan melalui pintu masuk, kemudian orang yang paling tua disana akan melemparkan uang receh, nah barang siapa orang yang bisa mengambil uang recehnya, itu menjadi hak mereka. Konon, uang itu lebih baik agar tidak dibelanjakan, karena bisa mendatangkan hoki.
Kemudian, pengantin akan saling suap-menyuapi semangkuk onde. Onde makanan yang terbuat dari sagu dan tepung terigu, dilengkapi dnegan gula cair hingga rasanya manis.
Acara yang terakhir adalah pengantin akan bersembahyang kepada leluhur secara bersama-sama atau berdampingan. Nah, dengan menjalani beberapa ritual Cio Tao tersebut, secara adat mereka sudah dianggap sah sebagai suami istri.
3.  Anak Wayang
Tari Cokek termasuk jenis tari-tarian yang lazim dipertunjukan masyarakat Banten di kawasan Tangerang. Tarian Cokek pertama kali diperkenalkan seorang tuan tanah keturunan Tionghoa, Tan Sio Kek. Menurut kisahnya, Tan Sio Kek kerap menyelenggarakan pesta di kediamannya dan mengundang orang para musisi dari daratan Cina dengan membawa alat musik dari negara asalnya.

Alat musik yang dimainkan musisi dari Cina yakni Rebab Dua Dawai, selain itu ketiga musisi itu memainkan alat tradisional Tangerang seperti Seruling, Gong dan kendang. Untuk meramaikan suasana, Tan Sio Kek menampilkan tiga perempuan menari mengikuti alunan musik dari para musisi. Para tamu yang menghadiri pesta itu menyebut penari-penari sebagai Cokek. Namun, ada meyakini Cokek itu nama dari salah satu anak buah Tan Sio Kek. Sejak saat itu masyarakat Tangerang, Banten mulai kenal Tari Cokek.
Tarian Cokek biasanya dimainkan oleh sepuluh orang penari wanita, dan tujuh orang laki-laki pemegang gamang kromong, alat musik yang mengiringinya. Tari Cokek merupakan jenis tarian khas yang berasal dari daerah Tangerang yang pada awalnya berkembang di daerah betawi. Di daerah Tangerang, tari Cokek biasanya dimainkan sebagai pertunjukkan hiburan saat warga Cina benteng menyelenggarakan acara, khususnya acara pernikahan. Oleh warga Tionghoa di Tangerang, Tari Cokek disebut sebagai tari penyambutan tamu.
Keunikan Tari Cokek terlihat pada gerakan tubuh penarinya yang bergerak perlahan-lahan sehingga mudah untuk diikuti oleh penonton. Gerakan tarian tari Cokek ini kemudian akan dilanjutkan dengan ajakan pada para penonton untuk ikut bergabung menari. Ajakan pada para penonton itu dilakukan dengan cara mengalungkan selendang ke leher sambil menariknya maju ke depan atau ke panggung.
Ajakan itu umumnya ditujukan kepada pemuka masyarakat atau orang kaya yang hadir pada acara itu. Proses menari bersama ini dilakukan berdekatan antara penari dengan penonton, tetapi tidak saling bersentuhan.
Tak dapat dipungkiri, Cina Benteng memiliki banyak budaya dan tradisi, tetapi sering kali terlupakan, bahkan oleh warga Tionghoa sendiri. Sehingga dengan film ini, diharapkan masyrakat dapat lebih mengenal sebagian kecil dari budaya Cina Benteng yang masih ada di Indonesia hingga saat ini.

Resensi Fillm Sapu Tangan Fangyin





Produser  : Denny JA & Hanung Bramantyo
Sutradara  : Karin Bintaro
Pemain  :Leony Vitria, Reza Nangin, Elkie Kwee, Selly Hasan
Durasi  : 47:38 Menit


Sinopsis

Sapu Tangan Fang Yin berkisah tentang kehidupan seorang gadis keturunan Cina ‘mata sipit’ yang hidup pada era 1998. Fang Yin (Leony Vitria) dikisahkan sebagai gadis yang memiliki kepekaan sosial tinggi. Hal itu ditunjukan dengan kegemarannya berbagi dengan anak-anak jalanan di ibu kota. Ia dan kekasihnya, Albert (Reza Nangin), memiliki mimpi untuk mendirikan sebuah yayasan yatim piatu agar dapat menampung anak-anak jalanan. Sayangnya, mimpi itu gagal terwujud karena terjadinya peristiwa Mei 1998. Ketika itu negeri berjalan tanpa pemerintahan. Unjuk rasa berubah menjadi unjuk kekerasan. Kaum minoritas, terutama Tionghoa, dibunuh. Mereka mengalami kekerasan seksual akibat diperkosa, termasuk Fang Yin.
            Ayah Fang Yin (Elkie Kwee) terus mencari keadilan untuk membela hak putrinya. Tetapi aparat kepolisian maupun badan penegak hukum lainnya tak dapat berbuat apa-apa. Fang Yin sekeluarga akhirnya memutuskan untuk hijrah ke Amerika. Mereka berharap mendapat perlindungan hukum dan kehidupan yang lebih baik disana, dimana diskriminasi etnis tidak lagi berlaku.

Fang Yin melewati minggu-minggu pertama di Amerika dengan hambar. Ia masih mengalami trauma berkepanjangan atas peristiwa pemerkosaan itu. Kesedihannya kian membuncah ketika mengingat kekasihnya, Albert. Untuk menyembuhkan jiwanya, ayah Fang Yin mendatangkan seorang psikolog bernama Raisa (Selly Hasan). Raisa menjadi kawan baik Fang Yin selama di Amerika. Atas usul Raisa juga lah, Fang Yin akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di OTIS College of Art and Design.
            Kehidupan baru Fang Yin telah dimulai. Tetapi kesakitan masa silamnya lagi-lagi belum juga hilang. Kebencian Fang Yin merambah tidak hanya pada peristiwa pemerkosaan itu, namun juga pada negeri dimana ia kehilangan kehormatannya: Indonesia. Begitu bencinya ia pada Indonesia, sampai-sampai ia tidak mau lagi menginjakan kaki disana. Sekalipun kedua orang tuanya telah memutuskan untuk kembali ke Indonesia, Fang Yin lebih memilih untuk tinggal di Amerika. Ia membenci Indonesia berikut orang-orang disana.
Setelah belasan tahun berlalu, Fang Yin akhirnya memberanikan diri untuk melihat Indonesia melalui layar internet. Ia melihat Indonesia baru dengan kacamata yang berbeda. Diskriminasi etnis Tionghoa tidak lagi terjadi disana. Beberapa kursi kementrian diduduki oleh orang-orang Tionghoa, barongsae bebas melenggak-lenggok dimana-mana, koran berbahasa China diterbitkan, imlek dijadikan hari besar nasional, dan sebagainya. Kenangan masa lalu nya di Indonesia bercampur aduk dengan nasihat-nasihat bijak kakek Fang Yin semasa ia masih kecil dulu. Ia terkenang kampung halaman. Ia rindu Indonesia. Indonesia masuk kembali ke dalam kalbunya. Ia bakar sapu tangan tempat ia menyimpan air matanya, pertanda bahwa kebenciannya pada Indonesia sudah mulai reda. Fang Yin pun pulang ke Indonesia.





Pendapat :

Film Sapu Tangan Fang Yin bagus untuk ditonton karena banyak mengandung makna dan pesan moral yang berguna untuk pembangunan bangsa dan negara. Film ini mengajarkan kita untuk tidak mendiskriminasi satu sama lain. Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai macam ras, budaya, dan etnis yang berbeda. Tidak seharusnya kita menjadikan perbedaan ini sebagai pemecah persatuan dan kesatuan Negara Indonesia.

Rasa kemanusiaan yang tinggi harus ditanamkan kepada anak bangsa sejak dini. Keadilan untuk seluruh masyarakat Indonesia yang harus diperbaiki. Dan seharusnya lebih baik mengurangi diskriminasi daripada memperbaiki diskriminasi yang sudah terjadi, luka masa lalu akan terus terngiang di dalam ingatan mereka.


Saran :

Film ini memiliki edukasi yang tinggi terhadap masyarakat. Film ini mengajarkan kepada kita sebagai warga Negara harus saling menghormati apapun Ras, budaya, etnik dan suku. Dan kita harus memiliki rasa toleransi yang tinggi terhadap sesama. Film ini juga memberikan kritik kepada Negara untuk menyetarakan hak dan kewajiban dari warga Negara nya yaitu adalah kesamaan kedudukan dan perlindungan.

Sabtu, 14 Mei 2016

Resensi Film Ngenest (2015)

Film Ngenest (2015)

Sutradara    : Ernest Prakasa
Produser      : Chand Parwez Servia
                        Fiaz Servia
Penulis         : Ernest Prakasa
Pemeran      : Ernest Prakasa
                        Lala Karmela
                        Morgan Oey (Patrick
                        Kevin Anggara
                        Brandon Salim         
Subtitle        : Bahasa Indonesia
Durasi          : 90 menit






Sinopsis

Film komedi ini menceritakan tentang kehidupan ala Ernest, seorang yang ketunuan Cina yang dari merasakan beratnya hidup yang dilalui karena terlahir menjadi seorang minoritas dalam hal ini merupakan perbedaan dan selalu terkena bully (hinaan) yang diterima oleh teman - teman seangkatannya sejak masih kecil (masih di sekolah dasar). Menjadi korban bully oleh teman - temannya membuatnya bertekad untuk mengubah kekurangannya sebagai minoritas menjadi kelebihan, ia membuat keputusan untuk menikah dengan orang pribumi (calon istri) untuk mengakhiri diskriminasi dalam generasi ia yang selanjutnya tentunya dengan harapan anaknya kelak tidak akan mengalami nasib pahit seperti dirinya di masa depan.

Sebenarnya dalam kondisi fisiknya Ernest memang benar - benar identik keturunan Cina dengan ciri berkulit putih, mata sipit (narrow eyes), namun karena kehidupan yang ia jalani tidak sesuai keinginannya itupun dianggap kerugian besar baginya. Sejak menginjak SD tanpa melakukan sesuatu ia langsung di bully oleh temannya karena merupakan minoritas, yang akhirnya jalan pembullyan itu menuju kepada teman yang senasib dengannya yakni Patrick. Dan hal ini masih berlanjut di SMP karena pahitnya masa SD ia pun mencoba cara lain untuk memutus pembullyan kepada dirinya dengan membaur kepada orang yang selalu mengolok - oloknya serta memalaknya dengan harapan dia tidak akan menjadi korban bully lagi namun hasil tersebut gagal dan karena itulah Ernest ingin menikah dengan orang pribumi yang diidam - idamkan untuk memutuskan mata rantai diskriminasi agar tidak terjadi kelak kepada anaknya namun bagi sahabanya memang cita - cita Ernest memang aneh.

Setelah dimasa kuliah dengan tekad mencari jodoh pribumi karena masa SMA di swasta ia tidak mendapati pacar pribumi melainkan keturunan Cina, namun karena jodoh akhirnya berkenalan dengan gadis pribumi yang cantik serta sama keyakinan lagi (wooo mantap deh). Perjalanan pendekatan mereka berlangsung cepat sehingga langsung bertemu orang tua Meira untuk meminta restu karena overprotektif. Dalam hal ini timbul masalah karena ayahnya pernah ditipu oleh orang keturunan Cina dengan rasa khawatir Ernest akan seperti itu kelak nanti. Namun seringnya waktu merekapun berpacaran selama 5 tahun dan kemudian menikah.
Karena rasa takut akibat diskriminasi yang terjadi pada dirinya sudah hampir 2 tahun mereka menikah dan belum memiliki anak. Rasa takut menghantui dirinya yang membuatnya berpikir untuk memiliki anak dengan harapan mirip dengan istrinya yakni Meira sebagai pribumi namun peluang tersebut memliki kegagalan. Dan Akhirnya pun mereka mendapati anak yang bermata sipit seperti Ernest.


Pendapat Kelompok Kami 

Pendapat kami atas film ini mengajarkan bahwa semua perilaku yang kita terima itu dalam kehidupan banyak, tidak semua yang ada hanya pahit, serta ada manisnya. Hidup bagaikan seseorang yang naik motor tidak terprediksi jalanan seperti apa yang kita lalui dalam kehidupan serta tidak semua yang kita inginkan terjadi dan tidak semua yang kita tidak inginkan terjadi mengambil tindakan seperti menikah dengan ras lain itu boleh - boleh saja namun hasilnya belum tentu identik dengan yang kita harapkan, jadi apapun yang kita terima kita lakukan saja dengan ikhlas (syukur).

Saran Kelompok Kami
Saran kami atas film ini Saran kami atas film ini sebaiknya saat mengalami bullying atas perbedaan suku seperti ini dapat melakukan yang baik dengan sikap, perbuatan, dan tingkah laku yang sopan. Tidak membalas perbuatan tersebut karena akan sia" atas hal tersebut. Lakukanlah dengan bijak atas hidup ini. Dan menikah dengan orang pribumi pun tidak menjamin anaknya akan sama dengan orang pribumi karena yang mengatur hal itu hanya Tuhan. Seharusnya lebih menggunakan bahasa bahasa yang sopan. Karena secara tidak langsung seperti menunjukkan bahwa setiap orang yang berbudaya memiliki sesuatu yang patut dihormati atapun disegani.

Kamis, 28 April 2016

Resensi Peranakan Idealis

Penulis : H. Junus Jahja
Kategori : Umum
Thn Terbit : 1970
Bahasa Indonesia
Tema : Perjuangan serta Konstribusi Rakyat Tionghoa di Indonesia

Sinopsis :
Ada kecenderungan untuk memukul rata, gebyah uyah, peranakan Tionghoa sebagai golongan yang tidak peka terhadap lingkungan, egois, dan macam-macam lagi. Membaca buku ini kita akan tahu bahwa ada juga kaum peranakan yang idealis, yang berjuang demi Indonesia. Buku ini menampilkan 25 tokoh yang patut dikenang. Dari segi profesi dan pergaulan sehari-hari, mereka yang ditampilkan mencakup budayawan, pengusaha, cerdik-pandai, politisi, pejuang, sampai olahragawan. Selain politisi seperti Siauw Giok Tjhan, Tjoa Sik Ien, Yap Twan Bing, tampil pula Tan Po Gwan dari Partai Sosialis Indonesia (PSI), Ong Eng Die dari Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Dr Lie Kiat Teng dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Moh. Hassan (Tan Kiem Liong) dari Nahdlatul Ulama (NU). Di bidang medis ada nama dr Oen, yang HUT-nya ke-100 dirayakan pada 2003, dan dr Yap Hong Tjoen, dokter merakyat di Yogyakarta yang mendirikan Rumahsakit Mata dr Yap atas bantuan Sri Sultan HB VIII. Di bidang perfilman, teater, tonil, selain Teguh Karya dan Pak Item (Tan Tjeng Bok) diulas pula Nyoo Cheong Seng dan istrinya Fifi Young dan Fred Young. Di bidang olahraga terdapat Tan King Gwan (yang berpasangan dengan Njoo Kim Bie) turut berjuang mati-matian memboyong Piala Thomas ke Indonesia pada 1958. Tak berlebihan bila buku ini patut dibaca oleh warganegara Indonesia, peranakan atau bukan, yang mendambakan Indonesia yang lebih baik. "Alangkah baiknya bila buku ini dibaca oleh anak-anak Indonesia generasi sekarang; dijadikan buku perpustakaan di tiap Sekolah Lanjutan Pertama atau Atas, juga di Perguruan Tinggi. Dengan demikian generasi berikutnya tidak hanya terbius oleh kisah-kisah Eddy Tanzil cs saja, tetapi juga mengetahui bahwa cukup banyak jumlah WNI yang telah berjasa bagi bumi Nusantara." Soebagijo I.N. penulis buku Jagat Wartawan Indonesia, mantan wartawan Antara.

Isi
Lie Eng Hok (1893-1961) : Perintis Kemerdekaan
Indra Kusuma SH, Sekjen Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (Bakom-PKB) Pusat, Pada tahun 1995 diminta untuk mencari nama-nama keturunan Tionghoa untuk ditampilkan dalam peringatan HUT RI ke-50.Lie, kelahiran Desa Balaraja, Tangerang, 7 Februari 1893, dituduh sebagai salah seorang “otak” pemberontak 1926 di Banten. Lie orangnya teguh pada pendiriannya, yaitu membela Indonesia. Pada tahun 1926-1927 terjadi pemberontakan besar-besaran di daerah Banten dan Sumatra Barat. Karena merasa jiwanya terancam akhirnya Lie dan keluarganya pidah ke Semarang. Lie membuka toko buku loak dan lie membeli buku dengan mendatangi rumah-rumah orang belanda
Kwee Hing Tjiat (1891-1939) : Ide Putra Indonesia
Banyak orang mengira bahwa pencetus ide asimilasi peranakan Tionghoa adalah Liem Koen Hian padahal sebenarnya ialah Kwee Hing Tjiat. Kwee, pada tahun 1913 sudah tertarik menjadi wartawan, menerbitkan mingguan di tempat kelahirannya, Surabaya. Pada tahun 1916 ia diundang ke Batavia dan menjadi Pemimpin Redaksi Sin Po, terompet nasionalisme Tiongkok. Pada tahun 1918 ia mengundurkan diri dari Sin Po. Pada tahun 1921 di Berlin, ia menulis Dua Kepala Batu, buku mengenai pergerakan Tionghoa di Jawa sebelum 1920. Pada tahun 1923 Kwee kembali ke Hindia-Belanda, tetapi dilarang masuk oleh pemerintah kolonial Belanda sehingga terpaksa bermukim di Shanghai selama 10,5 tahun. Akhirnya pada tahun 1930 ia diperkenankan kembali ke Hindia-Belanda atas jaminan Oei Tjong Hauw, Direktur Oei Tiong Ham Concern, yang menerbitkan surat kabar untuk kepentingan mereka. Surat kabar ini terbit pada 1934 dengan nama Mata Hari. Kwee meninggalkan orientasi nasionalis Tiongkoknya dan menggantikan dengan orientasi Indonesia. Dalam tajuk rencana berjudul “Baba Dewasa” Kwee mencetuskan ide “Putra Indonesia” yakni gagasan agar mereka berasimilasi total dengan rakyat Indonesia. Awalnya surat kabar ingin diberi nama Mardika tapi karena kata Mardika (Merdeka) merupakan kata tabu dan tidak mendapat izin dari Pemerintah Belanda, lalu diganti dengan nama Mata Hari.
H. Karim Oei (1905-1988) : Sahabat Bung Karno
H. Karim Oei lahir di Padang, 6 Juni 1905. Pada awal 1926 ia merantau ke Bintuhan (Bengkulu) dan berdagang hasil bumi. Pada  1929 ia masuk islam, hal yang sangat langka dikalangan keturunan Tionghoa waktu itu. H. Karim Oei diangkat menjadi Konsul Muhammadiyah untuk wilayah Bengkulu dan selanjutnya untuk seluruh Sumatra Selatan. Pada tahun 1938 Bung Karno dipindahkan dari tempat pembuangannya di Ende (Flores) ke Bengkulu, karena hal ini Pak Karim menjadi akrab dengan Presiden RI yang pertama. Setelah kemerdekaan, Karim Oei pindah ke Jakarta. Ia berbisnis dengan Bapak Hasan Din ayahanda Ibu Fatmawati, ia menjadi anggota DPR, anggota konstituante dan juga mendirikan Bank Central Asia, dan pada tahun 1962-1980 menjabat Direktur Utama PT. Pabrik Kaos Aseli 777.

Tan Tjeng Bok (1899-1985) : Seniman Tiga Zaman
Tan Tjeng Bok memiliki ayah bernama Tan Soen Tjiang, ayahnya menikah dengan wanita Betawi tulen bernama Dasih tetapi keluarga dari pihak lelaki tidak menyetujui sehingga menikah tak lebih dari satu tahun. Ayahnya menikah dengan gadis Tionghoa. Sehingga Tan Tjeng Bok berbeda dengan kedelapan adiknya karena kulit Tan Tjeng Bok lebih gelap. Dari situ awalnya ia disapa Si Item dan kemudian Pak atau Oon Item. Tan Tjeng Bok lahir tahun 1899 di Jakarta, ia memulai karirnya sebagai biduan ketika baru berusia 12 tahun. Pada 27 November 1979, Pak Item dirawat di RS Husada karena sakit tua. Sebelum sakit, ia bermain untuk iklan susu kental manis bersama Wolly Sutinah. Juli 1980, Oto Suastika, seorang pelukis, membuat lukisan potret Tan Tjeng Bok dan hasil penjualannya diserahkan kepada ia yang telah jatuh miskin karena ia sangat boros dan tak peduli soal keuangan. Pada tahun 1985 ia meninggal dunia karena serangan jantung.
Kwee Thiam Hong (1910-1997) : Sumpah Pemuda
Kongres Pemuda II hadir seorang pemuda belasan tahun bernama Kwee Thiam Hong. Ia kelahiran Palembang, sebab itu tergabung dalam Jong Sumatranen Bond. Ia tidak hanya datang bersama kawan-kawannya dari Jong Sumatranen Bond, tetapi juga mengajak tiga orang pemuda yang keturunan Tionghoa. Bapak Daud Budiman, yang pada 1928 itu bernama Kwee Thiam Hong, menikmati hari tuanya dirumahnya di Jl. Taman Sari VIII/62A, Jakarta. Pak Daud Budiman dengan tegas menyatakan bahwa ia ikut Kongres dengan sadar, bukan hanya ikut-ikutan. Ia adalah anggota aktif Jong Sumatranen Bond dan menjabat Ressort-Commisaris disekolahnya, yang terletak di Scholweg (Jl. Dr. Sutomo, Jakarta Pusat). Dalam Jong Sumatranen Bond, Pak Daud juga aktif sebagai PL (Patrouille Leider, kira-kira setingkat dengan komandan peleton dalam ketentaraan) merangkap penabuh gendering. Rapat 28 Oktober 1928 sebenarnya adalah rapat umum yang diadakan oleh Panitia Kongres Pemuda II. Karena bersifat terbuka itulah Kwee Thiam Hong mengajak tiga orang keturunan tionghoa, yakni Ong Kay Siang, John Liauw Tjoan Hok dan Tjio Jin Kwie. Ketiga pemuda tersebut tidak tertarik terjun ke dunia pergerakan dan kepemudaan.

Biyanti Kharmawan (1906-1980) Ekonom Internasional
Biyanti lahir di Tegal pada Juni 1996 sebagai Khou Bian Tie, memperoleh gelar Sarjana Ekonomi dari Nederlandse Economische Hogeschool, Rotterdam, Belanda pada 1932 dengan predikat cum laude. Pada tahun 1942 ia aktif berbisnis dan bekerja pada Netherlands Economic Institute di Rotterdam. Di tahun 1949 ia ikut sebagai anggota delegasi Indonesia di Konferensi Meja Bundar. Pada 1953 ia menjadi pegawai negeri sebagai penasihat di Kementerian Perekonomian, Departemen Keuangan,dan Bank Indonesia. Jabatannya yang terakhir di Bank Indonesia adalah Deputi Gubernur. Dari 1996 sampai 1968 ia menjabat Direktur Eksekutif Internasional Monetary Fund (IMF) di Washington DC. Selain ahli ekonomi dan keuangan Biyanti Kharmawan juga merupakan ahli sastra Belandal. Dan beliau meninggal pada 5 Oktober 1982 di Toronto, Kanada, dan jenazahnya di terbangkan ke tanah air.

Liem Koen Hian (1896-1952) Partai Tionghoa Indonesia
Seorang tokoh pendiri PTI (Partai Tionghoa Indonesia) dan orang keduanya ialah Mr Ko Kwat Tiong dari cabang Semarang. Liem Koen Hian yang lahir di Banjarmasin di tahun 1896 dan meninggal di Medan 5 November 1952. PTI yang ia dirikan di Surabaya 25 September 1932 untuk mendukung gerakan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Karena menurutnya “Indonesier yang lahir, hidup, dan mati serta dikubur di negeri ini. Karena itu negeri inilah yang menjadi tumpuan segala cinta baktinya. Karena itu peranakan Tionghoa harus ikut memperjuangkan kesejahteraan rakyat negeri ini di segala bidang”. PTI (Partai Tionghoa Indonesia) adalah partai yang memiliki latar belakang partai kiri, bersikap anti-kolonial, dan mempertahankan identitas golongan etnis Tionghoa di kalangan masyarakat Indonesia yang terasimilasi dengan golongan pribumi. Etnis Tionghoa pun sejak masa kemerdekaan mnuntut kesamaan hak (equality) dan kewajiban dengan orang pribumi yang sama-sama berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Pada periode 1932-1939 partai ini berhasil meraih kursi Volksraad.

Dokter Tjoa Sik Len (1907-1987) Pejuang
Dokter Tjoa Sik Len lahir di Surabaya tahun 1907 merupakan pengurus dalam PTI (Partai Tionghoa Indonesia) serta Direktur Sin Tit Po (1939). Di zaman Revolusi ia memihak Republik. Pada tahun 1949 ia menjadi anggota delegasi Indonesia ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dan setelah perjuangannya terhadap Indonesia Setelah G30S/PKI meletus Dr Tjoa terpaksa meninggalkan Indonesia dan tinggal di Austria. Dia meninggal sebagai seorang stateless pada tahun 1987, jauh di rantau, jauh di tanahairnya Indonesia yang ia perjuangkan.

Injo Beng Goat (1904-1962) Anggota Komite Nasional Indonesia Pusat
Injo Beng Goat dilahirkan di Bengkulu pada tahun 1904, dan meninggal di Jakarta 1 November 1962, ia mulai terjun dalam bidang jurnalistik pada tahun 1934, di surat kabar Keng Po, Jakarta. Mula-mula sebagai reporter biasa, kemudian dalam waktu yang tidak terlalu lama, dia menjadi pemimpin redaksi di Keng Po. Keng Po adalah media untuk wong cilik seperti kaum buruh , semacam “Daily Herald” , untuk kepentingan buruh. Injo Beng Goat suka humor dan tulisannya segar, Injo Beng Goat sempat  menyokong Tiongkok dalam Sino Japanese War II [1937-1945] dalam bentuk bantuan dana. Saat Jepang 


Dokter Oen Boen Ing (1903-1982) Merakyat
DOKTER OEN BOEN ING lahir di Salatiga, 3 Maret 1903. Antara 1922 dan 1923 ia berpraktik di Kediri, lalu pindah ke Solo. Sejak 1944 diangkat sebagai dokter pribadi Istana Mangkunegaran. Karena jasa-jasanya, ia di anugerahi gelar K.R.T. Pada 1952 ia di anugerahi gelar K.R.T. pada 1952 ia mendirikan satu klinik, yang kemudian menjadi RS Panti Kosawa, untuk melayani masyarakat setempat, khusunya rakyat miskin. Dokter Oen banyak membantu para pejuang kemerdekaan di zaman Revolusi, bahkan memasok penisilin untuk Jendral Sudirman yang menderita TBC. Beliau wafat pada 30 Oktober 1982. Pikiran Rakyat, Jumat 5 November 1982, memberitakan wafatnya dr Oen adalah:
Dokter Oen Boen Ing (80 tahun) seorang pemrakarsa berdirinya RS Panti Kosala Sala, meninggal dunia di RS Tlogorejo, Semarang, hari sabtu pagi sekitar pukul 08.30, setelah menderita sakit tua sejak tahun 1977. Gelar yang dianugerahkan Sri Paduka Mangkunegoro VIII 27 Pebruari 1980 itu, diraihnya setelah almarhum mengabdikan diri sebagai dokter pribadi Istana Mangkunegaraan sejak 1944. Ia seakan-akan tidak pernah memikirkan masalah lain, kecuali prinsip hidup yang pernah dikatakannya, “Tugas dokter adalah menyembuhkan, tidak lain,” begitu prinsipnya.

PROF. Dr Tjan Tjoe Siem (1909-1978): Dominan Jawanya
Prof. Dr Tjan Som dan Prof. Dr Tjan Tjoe Siem adalah kakak-beradik yang turun-temurun beragam Islam dan sama-sama mahaguru. Tjoe Som adalah Sinolog sedangkan adiknya Tjoe Siem Javanolog dan Islamolog. Tulisan ini hanya mengenai Tjan Tjoe Siem, yang lahir di Solo, 3 April 1909, putra seorang muslim keturunan Tionghoa. Beliau meninggal dunia di Jakarta 30 Desember 1978. Prof. Tjan Tjoe Siem meninggal dunia di Jakarta tahun 1978 dan dikebumikan di makam keluarganya di Solo. Demikian Haji Wa’ang atau H. Roshian Anwar tentang seorang yang menurut Soebadio Sastrosatomo (alm.) amat uni, yakni “keturunan Tionghoa asal Solo, beragama Islam memang, tapi dalam dirinya dominan Jawanya.”

Ferry Sie King Lien (1933-1949) dan Dokter Tjia Giok Thiam: Gerilyawan
Ada satu corat-coret pada tembok dalam  bahasa Belanda yang rupanya sangat mengena dan menjadi kenyataan, yaitu “Eens komt de dag dat Republik Indonesia zal herrijzen”, yang artinya “Pada satu hari Republik Indonesia akan timbul kembali”. Dan kenyataan itu terwujud oleh pulihnya Negara Kessatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950. Tiga orang yang selamat lolos dari cegaran Belanda : Tjiptardjo, Salamoen dan Semedi.
Belanda berhasil merampas stengun dan bedil LE dari Ferry, Soehadi, dan kawan-kawan yang kebetulan mereka meminjamnya dari Soemardi Prodjohandono. Tidak berlebihan kiranya untuk diketahui bahwa makam Ferry di Taman Makam Pahlawan itu adalah satu-satunya WNI keturunan Cina. Ferry dikenal sebagai keponakan pemilik Pabrik Gelas di Kartodipuran.

Kho Ping Hoo (1926-1994): Cerita Silat
 “Di mana ada sumur dan air, disana ada golongan etnis Tionghoa”. Ungkapan ini adalah ungkapan Tionghoa yang umum. Barangkali dapat kita ubah ungkapan itu menjadi yang berikut ini: “Di mana ada orang Tionghoa, di sana ada cerita silat”.
Golongan etnis Tionghoa dapat dibagi menjadi masyarakat peranakan dan totok. Yang pertama telah kehilangan penguasaan aktif terhadap bahasa Tionghoa, sementara orang-orang Tionghoa dalam masyarakat yang kedua masih berbahasa Tionghoa. Orang Tionghoa peranakan telah berada di Indonesia selama bergenerasi. Sebelum Perang Dunia II, mereka yang kaya mempunyai kemungkinan memperoleh pendidikan Belanda. Yang miskin bersekolah di sekolah-sekolah Tionghoa (Tiong Hoa Hwee Koan), tetapi umumnya menggunakan bahasa Melayu atau sebuah bahasa setempat sebagai bahasa pengantar komunikasi. Orang Tionghoa peranakan terutama adalah keturunan orang Hokkian. Karena itu terdapat kata-kata bahasa Hokkian dalam bahasa Melayu mereka, yang dikenal sebagai bahasa Melayu Tionghoa atau Melayu peranakan.
Kho Ping Hoo mendidik 13 anak dari dua isteri dalam falsafah Bhinneka Tunggal Ika. Dengan anak-anaknya yang lahir di Jawa Barat ia berbahasa Sunda, tapi dengan yang lebih muda dan lahir di Jawa Tengah bahsa sehari-harinya Jawa. Dan mereka menikah dengan beraneka kelompok: Tionghoa totok, peranakan, Jawa, dan Padang. Tentunya karena “suka sama suka”, sesuatu yang wajar-wajar saja.

Tan King Gwan (1932-2001): Thomas Cup
TAN KING GWAN, lahir di Salatiga pada 27 Juli 1932 dan wafat 9 Februari 2001 dalam usia 69 tahun, ia mulai bermain bulu tangkis pada usia 12 tahun. Tan King Gwan termasuk anggota tim bulu tangkis kita pada 1958 memboyong Piala Thomas untuk pertama kalinya. Tan King Gwan sendiri tadinya adalah pemain tunggal dan pernah membuat prsetasi besar di Pekan Olahraga Nasional(PON) Ke-3 di Medan tahun 1953 dan Kejurnas Bulu Tangkis 1954 di Surabaya.
P.K. Ojong (1920-1980): Garis Rasial Garis Usang
Beliau memulai karirnya sebagai guru, kemudian menjadi redaktur surat kabar Keng Po pada 1946 dan mengasuh mingguan Star Weekly, yang sidang pembacanya awalnya hanya keturunan Tionghoa tapi kemudian mencakup segenap lapisan masyarakat Indonesia. Wafat pada usia 60 tahun, almarhum bukan saja meninggalkan Koran yang terbesar oplahnya di Indonesia, tapi juga segudang pemikiran yang cemerlang dan pengabdian yang tulus terhadap Tanahairnya, Indonesia. Garis rasial adalah garis usang. Garis itu adalah warisan jaman kolonial. Kini tidak laku lagi. Yang berlaku ialah garis politik. Garis yang menentukan apakah seorang warga Negara Indonesia (entah Jawa, Manado, Batak, Peranakan) anti atau pro-Gestapu, anti atau pro-Front Pancasila. Orang seperti P.K. Ojong cukup banyak di kalangan warganegara turunan Tionghoa dan mereka sepatutnya dihargai secara wajar, agar yang lain terdorong mengikuti langkah dan tauladan yang mereka berikan.

Siauw Giok Tjan (1914-1981): Terpeleset
Siauw tampaknya menjadi anggota PKI-ilegal sebelum Perang Dunia II. Ia diduga terlibat dalam Peristiwa Madiun 1948 sehingga ditahan, tapi segera dibebaskan dan aktif lagi dalam politik. Siauw pada 1950-1966 menjadi anggota Parlemen mewakili keturunan Tionghoa. Siauw merupakan seorang patriot yang sejak usia muda secara ikhlas mempertaruhkan nyawanya bagi Indonesia Merdeka. Seorang idealis yang tak pernah mengejar kekayaan materi tapi ternyata terpeleset. Karena amat sangat tidak berhati-hati dalam memilih teman, massa seketurunannya menjadi “makanan empuk” kaum komunis, yang sudah lama terkenal kelihaian dan tipu muslihatnya di bidang Politik.

John Lie (1911-1988): Menerobos Blokade Belanda
John Lie, penerima Bintang Mahaputra Utama itu adalah sosok manusia Indonesia yang bukan saja mahir dalam kelautan, tetapi juga senantiasa bersandar pada Tuhan dengan rajin berdoa dalam menjalankan tugasnya. Ia adalah sosok yang berhasil menyelaraskan imannya dengan menyelundupkan senjata bagi perjuangan tetapi sekaligus membawa dua Alkitabnya di atas kapal yang sama. Wajar jika kemudian almarhum Jenderal Besar TNI A.H. Nasution berkata, “John Lie adalah perwira domine. Ketaatannya kepada Tuhan Allah adalah lebih tinggi daripada kepada manusia siapapun.”

ᴥ Yap Thiam Hien ( 1913 – 1989 ) : Pejuang Hak Asasi Manusia
Yap lahir di Banda Aceh, 25 Mei 1913. Setamat dari Europeesche Lagere School (SD untuk anak Eropa) pada 1926, ia meneruskan pelajarannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs ( MULO ), juga di Banda Aceh, lalu menyebrang lautan ke tanah Jawa. Di Jogjakarta ia masuk AMS A-II (setingkat SMA), dimana ia menyelesaikan pendidikannya di jurusan Sastra Barat pada 1933. Selesai tahun 1934 ia mulai mengajar di pelbagai sekolah. Pada 1946 ia berangkat ke Negeri Belanda untuk melanjutkan studinya di Leiden dan setahun kemudian berhasil menggondol gelar Meester in de Rechten. Sejak 1949 hingga akhir hidupnya, advokat menjadi profesinya. Demikian Prof. Dr Leo Suryadinata dalam bukunya Mencari identitas nasional dari Tjoe Bou San sampai Yap Thiam Hien.

ᴥ Soe Hok Gie  ( 1942 – 1969 ) : Sang Demonstran
Soe Hok Gie lahir pada 17 Desember 1942. Ia adalah putera ke4 dari keluarga penulis produktif Soe Lie Piet alias Salan Sutrawan. Soe Hok Gie berperawakan kecil tapi bercita- cita besar. Sayang, ia meninggal dunia dalam usia muda, sehari sebelum HUT-nya yang ke- 27 ( 16 Desember 1969 ) di Gunung Semeru. Tahun – tahun antara 1967 – 1969 merupakan masa yang produktif bagI Soe Hok Gie. Pada saat itu yang terjadi di tanah air adalah periode transisional pada tingkat elit kekuasaan: Orde Lama ke Orde Baru.

ᴥ Tjung Tin Jan ( 1919 – 1984 ) : Indonesia Bukan Amerika
Mr Tjung Tin Jan ( Jani Arsadjaja ) lahir di Bangka, 9 Februari 1919. Sebelum diangkat menjadi wakil jaksa di Pangkal Pinang ia bekerja di suatu perusahaan  telpon dan kemudian menjadi pengacara. Pada 1949 ia mendirikan cabang PT Bangka dan bertindak sebagai pemimpin. Pada 1950 ia diangkat sebagai anggota DPR-RIS mewakili Bangka; 1950 – 1953 menjadi anggota DPR mewakili Partai Demokrat Tionghoa Indonesia; 1953 bergabung dengan Partai Katolik dan mewakilinya dalam DPR (sampai 1960). Pada 1953-1959 menjadi anggota DPP Partai Katolik dan 1956-1958 menjadi wakil wakil ketua II. 1955-1961 menjabat menjadi Direktur PT Tambang Emas Cikotok dan PT Logam Emas; 1961-1968 menjabat Direktur Perusahaan- perusahaan Pertambangan Negara dan 1968-1974 menjabat Direktur Keuangan PN Aneka Tambang.

ᴥ Tabunaan ( 1918- 1989 ) : Problema Sinica
Tabunaan ( Tan Boen Aan / Adil Ismail ) lahir Banjarmasin, 14 Agustus 1918, memperoleh gelar Ir dari Techinische Hooegeschool, Bandung. Problema Sinica di Indonesia dan Masalah Warga Negara Asing dan Orang- Orang Tanpa Negara Ditinjau dari Sudut Sosial Budaya.
Masalah tersebut di Indonesia memperlihatkan 2 aspek : Yang menyangkut golongan orang- orang Tionghoa asing, warga Negara R.R.T, Yang menyangkut golongan orang- orang Warga Negara Indonesia asal Keturunan Tionghoa.
Ada banyak sebab- sebab mengapa proses asimilasi itu tidak berjalan lancar: Perbedaan kebudayaan yang besar, Perbedaan agama dan lain sebagainya.

OEI JONG TJIOE 1907-1985 (Penasehat Bung Karno)
Oei Jong Tjioe lahir ditulungagung, 20 juli 1907. Setelah memperoleh gelar Mr dari Universitas Leiden, Belanda, pada 1935 ia berpraktik sebagai pengacara disurabaya dan menjadi anggota dewan provinsi jawa timur, pada 1946 ia bergabung dengan Republik. Dalam kapasitasnya sebagai penasehat tersebut Mr Oei ikut berangkat ke Den haag pada 1949 utuk hadir dalam sidang-sidang konfrensi meja bundar. Pada 1953, atas saran Bung Hatta, di Pulau Belitung dibangun industri keramik (keramik Indonesia-KIA) berskala kecil dengan teknologi Jepang. Pada 18 maret 1946 di Gedung REX Malang oleh Hua Chiao Hsieh Chu Tse Ai Hui telah diselenggarakan rapat umum untuk merundingkan cara bagaimana peredaran ekonomi di Indonesia, salah satu program dari pemerintah Republik Indonesia adalah selainnya berjuang untuk mempertegakkan kedaulatannya, pun berikhtiar memperbaiki peredaran ekonominya. Pada zaman Belanda, kedudukan kaum buruh Indonesia sangat rendah, Sedangkan Pada zaman Jepang kaum buruh Indonesia alami penderitaan sangat hebat. Sekarang kaum buruh Indonesia memasuki zaman merdeka. Mr Oei membicarakan soal para petani yang harus menyumbang pada Negeri hasil buminya, terutam padi. Pada dewasa ini bangsa Tionghoa punya usaha pun tidak punya rechtzekerheid atau jamian tentang hak berusaha, itulah sebabnya bangsa Tionghoa ragu-ragu mengeluarkan modalnya untuk melipat gandakan produksi apa saja.

H. MASAGUNG 1927-1996 (Mencerdaskan Bangsa)
H. Masagung yang nama aslinya Tjio Wie Thay, lahir di Jakarta 18 September 1927. Pendidikan formalnya hanya SD berbahasa Belanda, namun ia bergerak dibidang Perbukuan dan Penerbitan. Pada 1953 ia mendirikan PT Gunung Agung yang memiliki toko-toko buku, bahkan mempunyai cabang di luar negeri. Sejak 1976 ia beralih Agama dari Hindu Dharma ke Islam, lalu aktif dalam usaha “Mengharumkan Agama Islam”. Ia secara ikhlas sudah mewariskan PT Gunung Agung serta usaha-usaha lainnya pada putra-putranya sepeninggal almarhumah Ibu Ayu Agung. Ayu Agung mendirikan toko buku Wali Songo di Kwitang, yang bernama “toko buku plus” yang berskala besar di Yogyakarta. Ketika orang sibuk dengan idiom pembangunan material di zaman orde baru, Masagung mendirikan yayasan Idayu sebuah yayasan yang bergerak pada bidang pelestarian sejarah bangsa. 

YAP TJWAN BING 1910-1988 (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia)
Setelah lulus sebagai Sarjana Farmasi dari Universitas Amsterdam tahun 1939, Yap kelahiran Solo, 31 Oktober 1910, mendirikan apotik di bandung dan kemudian aktif dalam gerakan kemerdekaan Indonesia. Pada bulan Agustus 1945 ia diangkat sebagai anggota panitia persiapan kemerdekaan Indonesia  (PPKI). Badan ini pada tanggal 18 Agustus 1945 mengesahkan UUD 1945, PPKI dibubarkan secara resmi tanggal 27 Agustus 1945 dan pada saat itu juga dibentuk KNIP, yang juga diberi wewenang untuk membuat undang-undang dan menetapkan GBHN. Perhatian politik di Tanah Air dan pergaulannya dengan tokoh-tokoh Nasional membuat Yap dikenal secara luas hingga diangkat sebagai PPKI, KNIP, dan akhirnya menjadi salah satu Pemimpin PNI. Peristiwa 10 Mei 1963 itu menjadi peristiwa yang berat bagi keluarga Yap maupun penduduk keturunan Tionghoa  yang menjadi sasaran pembantaian. Maka dengan berat hati keluarga Yap Hijrah ke Amerika.

TEGUH KARYA 1937-2001 (Badai Pasti Berlalu)
Salah seorang keturunan Tionghoa yang telah berhasil merebut hati rakyat banyak ialah Teguh Karya. Ini dilakukannya melalui Dunia Teater dan Film. Teguh Karya terlahir sebagai Lim Tjoan Hok, dengan nama Baptip Steve Lim. Ia tercatat dalam sejarah sebagai Teaterwan dan Sinemas Indonesia yang kondang. Ia belajar di Akademik Seni Drama Film Indonesia (ASDRAFI)  di Yogya (1954-1956) dan Akademik Teater Nasional Indonesia (ATNI) di Jakarta. Pada 1963 ia belajar di East-West Center, Hawai. Sekembalinya di Indonesia ia mendirikan Teater Populer dan mengadakan pertunjukan regular di Hotel Indonesia. Film pertamanya ialah “Wajah Seorang Laki-Laki” (1971). Dan pada Festival Film Internasional Ke-7 di Hongkong secara khusus ditayangkan 9 film Teguh Karya diantarannya adalah “Dibalik Kelambu”. Kepada mendiang Chairil Anwar (Sastrawan), Almarhum Ismail Marzuki (Komponis), dan Teguh Karya (Sutradara ,Teater, Film, dan Televisi) di Anugerahkan Bintang Budaya Paramadharma.

 Pendapat Kelompok Kami
Bagi kelompok kami, dengan adanya buku ini sangat membantu untuk memotivasi kami dalam melihat sejarah kehidupan TIONGHOA, kita sebagai pelajar yang keturunan Tionghoa dapat menjadi seorang yang bermanfaat untuk kehidupan bermasyarakat serta menjadi pedoman yang sangat kuat baik secara individu maupun kelompok dan bisa lebih mudah dalam bersosialisasi dengan keturunan tionghoa maupun kaum pribumi. Dalam  buku ini juga dijelaskan bahwa dalam mendirikan sebuah usaha harus mempunyai tekad yang kuat, disiplin dan tidak pantang menyerah serta teguh dalam menentukan pilihan.
Saran Kelompok Kami
Dalam buku ini sudah dijelaskan bahwa semua yang berkaitan dalam sejarah tionghoa sudah memiliki sifat-sifat yang baik untuk dicontoh atau ditiru tetapi ada hal yang harus diperbaiki dalam menentukan pilihan atau keputusan yang akan ditentukan misalnya jangan terlalu tergesa-gesa, jangan ceroboh, jangan cepat putus asa,dan  jangan cepat puas diri atas apa yang didapatkan.

Rabu, 13 April 2016

Resensi Film The Act Of Killing JAGAL

The Act Of Killing (Jagal)
Sutradara : Joshua Oppenheime
Produser  : Signe Byrge Sorensen
Durasi 2 Jam Bahasa Indonesia
Tanggal Rilis: 1 November 2012 (indonesia)
Serial film: The Act of Killing/The Look of Silence film series
Pemain: Anwar Congo, Japto Soerjosoemarno, lainnya
Skenario: Joshua Oppenheimer, Christine Cynn
Musik digubah oleh: Karsten Fundal, Elin Øyen Vister
Inilah Film Jagal yang menjadi film nominasi di ajang penghargaan akademi award di 2014. Film ini telah mengantongi piala yang tidak terhingga karena ini adalah film dokumenter pertama Indonesia yang memenangkan salah satu kebanggaan menurut kelompok kami nyittheu adalah piala Oscar. Ini adalah film dokumenter yang menyorot tentang pelaku pembunuhan yang dilakukan oleh anti-PKI pada tahun 1965 - 1966 yang mengisahkan kisah tragis berupa kekejaman yang dianggap perbuatan heroik.
Film ini merupakan film yang diputar oleh rekan kelompok kami gotiao pada 7 April 2016 bagi kelompok kami merupakan film yang mengisahkan tentang peristiwa pembunuhan rakyat komunis yang tidak lain merupakan etnik Tionghoa dan dilakukan oleh para pembunuh yang menceritakan tentang pembunuhan yang mereka lakukan, cara yang digunakan, dan barang apa saja yang mereka gunakan.
“Tokoh Utama Dalam Film Jagal ini adalah Anwar Congo yang pada masa mudanya menghabiskan waktu di bioskop tentu saja karena mereka merupakan preman bioskop dan pada tahun 1965 tentara merekrut mereka untuk membentuk pasukan pembunuh untuk membunuh dan tentu saja targetnya merupakan yang tertuduh komunis, dalam hal ini karena Anwar Congp dan kawan – kawannya merupakan pengagum berat James Dean, John Wayne, dan Viktor Mature, mereka secara terang – terangan mempragakan gaya berpakaian serta cara membunuh dalam acara hollywood. Dengan mereka meminjam teknik dari film mafia yang berujung pada pembunuhan komunis dan karena cara tersebut kurang efisien maka mereka lebih cenderung untuk mencoba cara membunuh yang lebih efisien dan tidak memakan banyak waktu, dalam hal ini Anwar lebih cenderung memakai kawat untuk menjerat targetnya dan cara yang digunakan lainnya oleh Anwar Congo dan teman-temannya, di Jawa Timur pembunuhan ada yang dilakukan dengan cara kepala dipenggal kemudian dipamerkan di piggir jalan. Dalam laporan Aljazeera tentang pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di Bali dan di Blitar, para pelaku menceritakan pembunuhan dilakukan di antaranya dengan menggunakan benda keras dipukulkan di bagian belakang kepala, ada yang menggunakan parang untuk memenggal leher.”
Film ini Jagal menggambarkan pembunuhan dilakukan dengan kekejaman yang diluar batas kemanusiaan – dicekik dengan melilitkan kawat di leher kemudian ditarik sekuat-kuatnya dari dua ujungnya, dicekik dengan menginjakkan kaki meja di leher kemudian para pembunuh duduk diatas meja sambil menyanyi. Kekejaman itu diakui sendiri oleh para pelaku. Menghabisi nyawa orang dengan cara keji adalah pelanggaran HAM.
          Selain itu Film Jagal tidak bisa diputar terbuka di Indonesia. Masih terlalu banyak orang-orang, terutama militer dan politikus-politikus penerus Orde Baru, yang menentang pembunuhan massal pada tahun 1965 dan 1966 diungkapkan. Ketika laporan penyelidikan Komnas HAM tentang pelanggaran HAM dalam pembunuhan massal tersebut diumumkan, reaksi mereka sangat keras. Djoko Suyanto, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan mengatakan pembunuhan itu dibenarkan untuk menyelamatkan negara dari komunisme.

Pendapat kelompok kami :
Menurut kelompok kami film ini bercerita tentang sebuah pembantai masal yang dilakukan oleh manusia terhadap manusia lainnya serta bercerita tentang dunia yg dibangun oleh imajinasi dan penyampaian cerita, Film ini juga menceritakan sebuah kisah mengenai apa yang terjadi jika manusia membangun normalitas sistem ekonomi dan politik berdasarkan kekerasan,kebohongan,dan ketakutan. Dengan film ini kami sebagai generasi muda menjadi sadar sejarah dan tahu banyak terjadinya pelanggaran diluar indonesia  yang dilakukan oleh pemerintah negara lain.

Saran kelompok kami :
Saran menurut kelompok kami, film ini lebih sepenuhnya sadar bahwa sebanyak dan sebesar apapun pelanggaran HAM yang dilakukan negara lain tidak pernah memberikan pembenaran bahwa kita melakukan hal yang sama dinegara kita sendiri dan film ini harus lebih memberikan tanggung jawab terhadap dunia yang lebih memanusiawi dan sebaiknya kita memulai untuk membuat Indonesia lebih menjadi manusiawi.