Kamis, 28 April 2016

Resensi Peranakan Idealis

Penulis : H. Junus Jahja
Kategori : Umum
Thn Terbit : 1970
Bahasa Indonesia
Tema : Perjuangan serta Konstribusi Rakyat Tionghoa di Indonesia

Sinopsis :
Ada kecenderungan untuk memukul rata, gebyah uyah, peranakan Tionghoa sebagai golongan yang tidak peka terhadap lingkungan, egois, dan macam-macam lagi. Membaca buku ini kita akan tahu bahwa ada juga kaum peranakan yang idealis, yang berjuang demi Indonesia. Buku ini menampilkan 25 tokoh yang patut dikenang. Dari segi profesi dan pergaulan sehari-hari, mereka yang ditampilkan mencakup budayawan, pengusaha, cerdik-pandai, politisi, pejuang, sampai olahragawan. Selain politisi seperti Siauw Giok Tjhan, Tjoa Sik Ien, Yap Twan Bing, tampil pula Tan Po Gwan dari Partai Sosialis Indonesia (PSI), Ong Eng Die dari Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Dr Lie Kiat Teng dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Moh. Hassan (Tan Kiem Liong) dari Nahdlatul Ulama (NU). Di bidang medis ada nama dr Oen, yang HUT-nya ke-100 dirayakan pada 2003, dan dr Yap Hong Tjoen, dokter merakyat di Yogyakarta yang mendirikan Rumahsakit Mata dr Yap atas bantuan Sri Sultan HB VIII. Di bidang perfilman, teater, tonil, selain Teguh Karya dan Pak Item (Tan Tjeng Bok) diulas pula Nyoo Cheong Seng dan istrinya Fifi Young dan Fred Young. Di bidang olahraga terdapat Tan King Gwan (yang berpasangan dengan Njoo Kim Bie) turut berjuang mati-matian memboyong Piala Thomas ke Indonesia pada 1958. Tak berlebihan bila buku ini patut dibaca oleh warganegara Indonesia, peranakan atau bukan, yang mendambakan Indonesia yang lebih baik. "Alangkah baiknya bila buku ini dibaca oleh anak-anak Indonesia generasi sekarang; dijadikan buku perpustakaan di tiap Sekolah Lanjutan Pertama atau Atas, juga di Perguruan Tinggi. Dengan demikian generasi berikutnya tidak hanya terbius oleh kisah-kisah Eddy Tanzil cs saja, tetapi juga mengetahui bahwa cukup banyak jumlah WNI yang telah berjasa bagi bumi Nusantara." Soebagijo I.N. penulis buku Jagat Wartawan Indonesia, mantan wartawan Antara.

Isi
Lie Eng Hok (1893-1961) : Perintis Kemerdekaan
Indra Kusuma SH, Sekjen Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (Bakom-PKB) Pusat, Pada tahun 1995 diminta untuk mencari nama-nama keturunan Tionghoa untuk ditampilkan dalam peringatan HUT RI ke-50.Lie, kelahiran Desa Balaraja, Tangerang, 7 Februari 1893, dituduh sebagai salah seorang “otak” pemberontak 1926 di Banten. Lie orangnya teguh pada pendiriannya, yaitu membela Indonesia. Pada tahun 1926-1927 terjadi pemberontakan besar-besaran di daerah Banten dan Sumatra Barat. Karena merasa jiwanya terancam akhirnya Lie dan keluarganya pidah ke Semarang. Lie membuka toko buku loak dan lie membeli buku dengan mendatangi rumah-rumah orang belanda
Kwee Hing Tjiat (1891-1939) : Ide Putra Indonesia
Banyak orang mengira bahwa pencetus ide asimilasi peranakan Tionghoa adalah Liem Koen Hian padahal sebenarnya ialah Kwee Hing Tjiat. Kwee, pada tahun 1913 sudah tertarik menjadi wartawan, menerbitkan mingguan di tempat kelahirannya, Surabaya. Pada tahun 1916 ia diundang ke Batavia dan menjadi Pemimpin Redaksi Sin Po, terompet nasionalisme Tiongkok. Pada tahun 1918 ia mengundurkan diri dari Sin Po. Pada tahun 1921 di Berlin, ia menulis Dua Kepala Batu, buku mengenai pergerakan Tionghoa di Jawa sebelum 1920. Pada tahun 1923 Kwee kembali ke Hindia-Belanda, tetapi dilarang masuk oleh pemerintah kolonial Belanda sehingga terpaksa bermukim di Shanghai selama 10,5 tahun. Akhirnya pada tahun 1930 ia diperkenankan kembali ke Hindia-Belanda atas jaminan Oei Tjong Hauw, Direktur Oei Tiong Ham Concern, yang menerbitkan surat kabar untuk kepentingan mereka. Surat kabar ini terbit pada 1934 dengan nama Mata Hari. Kwee meninggalkan orientasi nasionalis Tiongkoknya dan menggantikan dengan orientasi Indonesia. Dalam tajuk rencana berjudul “Baba Dewasa” Kwee mencetuskan ide “Putra Indonesia” yakni gagasan agar mereka berasimilasi total dengan rakyat Indonesia. Awalnya surat kabar ingin diberi nama Mardika tapi karena kata Mardika (Merdeka) merupakan kata tabu dan tidak mendapat izin dari Pemerintah Belanda, lalu diganti dengan nama Mata Hari.
H. Karim Oei (1905-1988) : Sahabat Bung Karno
H. Karim Oei lahir di Padang, 6 Juni 1905. Pada awal 1926 ia merantau ke Bintuhan (Bengkulu) dan berdagang hasil bumi. Pada  1929 ia masuk islam, hal yang sangat langka dikalangan keturunan Tionghoa waktu itu. H. Karim Oei diangkat menjadi Konsul Muhammadiyah untuk wilayah Bengkulu dan selanjutnya untuk seluruh Sumatra Selatan. Pada tahun 1938 Bung Karno dipindahkan dari tempat pembuangannya di Ende (Flores) ke Bengkulu, karena hal ini Pak Karim menjadi akrab dengan Presiden RI yang pertama. Setelah kemerdekaan, Karim Oei pindah ke Jakarta. Ia berbisnis dengan Bapak Hasan Din ayahanda Ibu Fatmawati, ia menjadi anggota DPR, anggota konstituante dan juga mendirikan Bank Central Asia, dan pada tahun 1962-1980 menjabat Direktur Utama PT. Pabrik Kaos Aseli 777.

Tan Tjeng Bok (1899-1985) : Seniman Tiga Zaman
Tan Tjeng Bok memiliki ayah bernama Tan Soen Tjiang, ayahnya menikah dengan wanita Betawi tulen bernama Dasih tetapi keluarga dari pihak lelaki tidak menyetujui sehingga menikah tak lebih dari satu tahun. Ayahnya menikah dengan gadis Tionghoa. Sehingga Tan Tjeng Bok berbeda dengan kedelapan adiknya karena kulit Tan Tjeng Bok lebih gelap. Dari situ awalnya ia disapa Si Item dan kemudian Pak atau Oon Item. Tan Tjeng Bok lahir tahun 1899 di Jakarta, ia memulai karirnya sebagai biduan ketika baru berusia 12 tahun. Pada 27 November 1979, Pak Item dirawat di RS Husada karena sakit tua. Sebelum sakit, ia bermain untuk iklan susu kental manis bersama Wolly Sutinah. Juli 1980, Oto Suastika, seorang pelukis, membuat lukisan potret Tan Tjeng Bok dan hasil penjualannya diserahkan kepada ia yang telah jatuh miskin karena ia sangat boros dan tak peduli soal keuangan. Pada tahun 1985 ia meninggal dunia karena serangan jantung.
Kwee Thiam Hong (1910-1997) : Sumpah Pemuda
Kongres Pemuda II hadir seorang pemuda belasan tahun bernama Kwee Thiam Hong. Ia kelahiran Palembang, sebab itu tergabung dalam Jong Sumatranen Bond. Ia tidak hanya datang bersama kawan-kawannya dari Jong Sumatranen Bond, tetapi juga mengajak tiga orang pemuda yang keturunan Tionghoa. Bapak Daud Budiman, yang pada 1928 itu bernama Kwee Thiam Hong, menikmati hari tuanya dirumahnya di Jl. Taman Sari VIII/62A, Jakarta. Pak Daud Budiman dengan tegas menyatakan bahwa ia ikut Kongres dengan sadar, bukan hanya ikut-ikutan. Ia adalah anggota aktif Jong Sumatranen Bond dan menjabat Ressort-Commisaris disekolahnya, yang terletak di Scholweg (Jl. Dr. Sutomo, Jakarta Pusat). Dalam Jong Sumatranen Bond, Pak Daud juga aktif sebagai PL (Patrouille Leider, kira-kira setingkat dengan komandan peleton dalam ketentaraan) merangkap penabuh gendering. Rapat 28 Oktober 1928 sebenarnya adalah rapat umum yang diadakan oleh Panitia Kongres Pemuda II. Karena bersifat terbuka itulah Kwee Thiam Hong mengajak tiga orang keturunan tionghoa, yakni Ong Kay Siang, John Liauw Tjoan Hok dan Tjio Jin Kwie. Ketiga pemuda tersebut tidak tertarik terjun ke dunia pergerakan dan kepemudaan.

Biyanti Kharmawan (1906-1980) Ekonom Internasional
Biyanti lahir di Tegal pada Juni 1996 sebagai Khou Bian Tie, memperoleh gelar Sarjana Ekonomi dari Nederlandse Economische Hogeschool, Rotterdam, Belanda pada 1932 dengan predikat cum laude. Pada tahun 1942 ia aktif berbisnis dan bekerja pada Netherlands Economic Institute di Rotterdam. Di tahun 1949 ia ikut sebagai anggota delegasi Indonesia di Konferensi Meja Bundar. Pada 1953 ia menjadi pegawai negeri sebagai penasihat di Kementerian Perekonomian, Departemen Keuangan,dan Bank Indonesia. Jabatannya yang terakhir di Bank Indonesia adalah Deputi Gubernur. Dari 1996 sampai 1968 ia menjabat Direktur Eksekutif Internasional Monetary Fund (IMF) di Washington DC. Selain ahli ekonomi dan keuangan Biyanti Kharmawan juga merupakan ahli sastra Belandal. Dan beliau meninggal pada 5 Oktober 1982 di Toronto, Kanada, dan jenazahnya di terbangkan ke tanah air.

Liem Koen Hian (1896-1952) Partai Tionghoa Indonesia
Seorang tokoh pendiri PTI (Partai Tionghoa Indonesia) dan orang keduanya ialah Mr Ko Kwat Tiong dari cabang Semarang. Liem Koen Hian yang lahir di Banjarmasin di tahun 1896 dan meninggal di Medan 5 November 1952. PTI yang ia dirikan di Surabaya 25 September 1932 untuk mendukung gerakan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Karena menurutnya “Indonesier yang lahir, hidup, dan mati serta dikubur di negeri ini. Karena itu negeri inilah yang menjadi tumpuan segala cinta baktinya. Karena itu peranakan Tionghoa harus ikut memperjuangkan kesejahteraan rakyat negeri ini di segala bidang”. PTI (Partai Tionghoa Indonesia) adalah partai yang memiliki latar belakang partai kiri, bersikap anti-kolonial, dan mempertahankan identitas golongan etnis Tionghoa di kalangan masyarakat Indonesia yang terasimilasi dengan golongan pribumi. Etnis Tionghoa pun sejak masa kemerdekaan mnuntut kesamaan hak (equality) dan kewajiban dengan orang pribumi yang sama-sama berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Pada periode 1932-1939 partai ini berhasil meraih kursi Volksraad.

Dokter Tjoa Sik Len (1907-1987) Pejuang
Dokter Tjoa Sik Len lahir di Surabaya tahun 1907 merupakan pengurus dalam PTI (Partai Tionghoa Indonesia) serta Direktur Sin Tit Po (1939). Di zaman Revolusi ia memihak Republik. Pada tahun 1949 ia menjadi anggota delegasi Indonesia ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dan setelah perjuangannya terhadap Indonesia Setelah G30S/PKI meletus Dr Tjoa terpaksa meninggalkan Indonesia dan tinggal di Austria. Dia meninggal sebagai seorang stateless pada tahun 1987, jauh di rantau, jauh di tanahairnya Indonesia yang ia perjuangkan.

Injo Beng Goat (1904-1962) Anggota Komite Nasional Indonesia Pusat
Injo Beng Goat dilahirkan di Bengkulu pada tahun 1904, dan meninggal di Jakarta 1 November 1962, ia mulai terjun dalam bidang jurnalistik pada tahun 1934, di surat kabar Keng Po, Jakarta. Mula-mula sebagai reporter biasa, kemudian dalam waktu yang tidak terlalu lama, dia menjadi pemimpin redaksi di Keng Po. Keng Po adalah media untuk wong cilik seperti kaum buruh , semacam “Daily Herald” , untuk kepentingan buruh. Injo Beng Goat suka humor dan tulisannya segar, Injo Beng Goat sempat  menyokong Tiongkok dalam Sino Japanese War II [1937-1945] dalam bentuk bantuan dana. Saat Jepang 


Dokter Oen Boen Ing (1903-1982) Merakyat
DOKTER OEN BOEN ING lahir di Salatiga, 3 Maret 1903. Antara 1922 dan 1923 ia berpraktik di Kediri, lalu pindah ke Solo. Sejak 1944 diangkat sebagai dokter pribadi Istana Mangkunegaran. Karena jasa-jasanya, ia di anugerahi gelar K.R.T. Pada 1952 ia di anugerahi gelar K.R.T. pada 1952 ia mendirikan satu klinik, yang kemudian menjadi RS Panti Kosawa, untuk melayani masyarakat setempat, khusunya rakyat miskin. Dokter Oen banyak membantu para pejuang kemerdekaan di zaman Revolusi, bahkan memasok penisilin untuk Jendral Sudirman yang menderita TBC. Beliau wafat pada 30 Oktober 1982. Pikiran Rakyat, Jumat 5 November 1982, memberitakan wafatnya dr Oen adalah:
Dokter Oen Boen Ing (80 tahun) seorang pemrakarsa berdirinya RS Panti Kosala Sala, meninggal dunia di RS Tlogorejo, Semarang, hari sabtu pagi sekitar pukul 08.30, setelah menderita sakit tua sejak tahun 1977. Gelar yang dianugerahkan Sri Paduka Mangkunegoro VIII 27 Pebruari 1980 itu, diraihnya setelah almarhum mengabdikan diri sebagai dokter pribadi Istana Mangkunegaraan sejak 1944. Ia seakan-akan tidak pernah memikirkan masalah lain, kecuali prinsip hidup yang pernah dikatakannya, “Tugas dokter adalah menyembuhkan, tidak lain,” begitu prinsipnya.

PROF. Dr Tjan Tjoe Siem (1909-1978): Dominan Jawanya
Prof. Dr Tjan Som dan Prof. Dr Tjan Tjoe Siem adalah kakak-beradik yang turun-temurun beragam Islam dan sama-sama mahaguru. Tjoe Som adalah Sinolog sedangkan adiknya Tjoe Siem Javanolog dan Islamolog. Tulisan ini hanya mengenai Tjan Tjoe Siem, yang lahir di Solo, 3 April 1909, putra seorang muslim keturunan Tionghoa. Beliau meninggal dunia di Jakarta 30 Desember 1978. Prof. Tjan Tjoe Siem meninggal dunia di Jakarta tahun 1978 dan dikebumikan di makam keluarganya di Solo. Demikian Haji Wa’ang atau H. Roshian Anwar tentang seorang yang menurut Soebadio Sastrosatomo (alm.) amat uni, yakni “keturunan Tionghoa asal Solo, beragama Islam memang, tapi dalam dirinya dominan Jawanya.”

Ferry Sie King Lien (1933-1949) dan Dokter Tjia Giok Thiam: Gerilyawan
Ada satu corat-coret pada tembok dalam  bahasa Belanda yang rupanya sangat mengena dan menjadi kenyataan, yaitu “Eens komt de dag dat Republik Indonesia zal herrijzen”, yang artinya “Pada satu hari Republik Indonesia akan timbul kembali”. Dan kenyataan itu terwujud oleh pulihnya Negara Kessatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950. Tiga orang yang selamat lolos dari cegaran Belanda : Tjiptardjo, Salamoen dan Semedi.
Belanda berhasil merampas stengun dan bedil LE dari Ferry, Soehadi, dan kawan-kawan yang kebetulan mereka meminjamnya dari Soemardi Prodjohandono. Tidak berlebihan kiranya untuk diketahui bahwa makam Ferry di Taman Makam Pahlawan itu adalah satu-satunya WNI keturunan Cina. Ferry dikenal sebagai keponakan pemilik Pabrik Gelas di Kartodipuran.

Kho Ping Hoo (1926-1994): Cerita Silat
 “Di mana ada sumur dan air, disana ada golongan etnis Tionghoa”. Ungkapan ini adalah ungkapan Tionghoa yang umum. Barangkali dapat kita ubah ungkapan itu menjadi yang berikut ini: “Di mana ada orang Tionghoa, di sana ada cerita silat”.
Golongan etnis Tionghoa dapat dibagi menjadi masyarakat peranakan dan totok. Yang pertama telah kehilangan penguasaan aktif terhadap bahasa Tionghoa, sementara orang-orang Tionghoa dalam masyarakat yang kedua masih berbahasa Tionghoa. Orang Tionghoa peranakan telah berada di Indonesia selama bergenerasi. Sebelum Perang Dunia II, mereka yang kaya mempunyai kemungkinan memperoleh pendidikan Belanda. Yang miskin bersekolah di sekolah-sekolah Tionghoa (Tiong Hoa Hwee Koan), tetapi umumnya menggunakan bahasa Melayu atau sebuah bahasa setempat sebagai bahasa pengantar komunikasi. Orang Tionghoa peranakan terutama adalah keturunan orang Hokkian. Karena itu terdapat kata-kata bahasa Hokkian dalam bahasa Melayu mereka, yang dikenal sebagai bahasa Melayu Tionghoa atau Melayu peranakan.
Kho Ping Hoo mendidik 13 anak dari dua isteri dalam falsafah Bhinneka Tunggal Ika. Dengan anak-anaknya yang lahir di Jawa Barat ia berbahasa Sunda, tapi dengan yang lebih muda dan lahir di Jawa Tengah bahsa sehari-harinya Jawa. Dan mereka menikah dengan beraneka kelompok: Tionghoa totok, peranakan, Jawa, dan Padang. Tentunya karena “suka sama suka”, sesuatu yang wajar-wajar saja.

Tan King Gwan (1932-2001): Thomas Cup
TAN KING GWAN, lahir di Salatiga pada 27 Juli 1932 dan wafat 9 Februari 2001 dalam usia 69 tahun, ia mulai bermain bulu tangkis pada usia 12 tahun. Tan King Gwan termasuk anggota tim bulu tangkis kita pada 1958 memboyong Piala Thomas untuk pertama kalinya. Tan King Gwan sendiri tadinya adalah pemain tunggal dan pernah membuat prsetasi besar di Pekan Olahraga Nasional(PON) Ke-3 di Medan tahun 1953 dan Kejurnas Bulu Tangkis 1954 di Surabaya.
P.K. Ojong (1920-1980): Garis Rasial Garis Usang
Beliau memulai karirnya sebagai guru, kemudian menjadi redaktur surat kabar Keng Po pada 1946 dan mengasuh mingguan Star Weekly, yang sidang pembacanya awalnya hanya keturunan Tionghoa tapi kemudian mencakup segenap lapisan masyarakat Indonesia. Wafat pada usia 60 tahun, almarhum bukan saja meninggalkan Koran yang terbesar oplahnya di Indonesia, tapi juga segudang pemikiran yang cemerlang dan pengabdian yang tulus terhadap Tanahairnya, Indonesia. Garis rasial adalah garis usang. Garis itu adalah warisan jaman kolonial. Kini tidak laku lagi. Yang berlaku ialah garis politik. Garis yang menentukan apakah seorang warga Negara Indonesia (entah Jawa, Manado, Batak, Peranakan) anti atau pro-Gestapu, anti atau pro-Front Pancasila. Orang seperti P.K. Ojong cukup banyak di kalangan warganegara turunan Tionghoa dan mereka sepatutnya dihargai secara wajar, agar yang lain terdorong mengikuti langkah dan tauladan yang mereka berikan.

Siauw Giok Tjan (1914-1981): Terpeleset
Siauw tampaknya menjadi anggota PKI-ilegal sebelum Perang Dunia II. Ia diduga terlibat dalam Peristiwa Madiun 1948 sehingga ditahan, tapi segera dibebaskan dan aktif lagi dalam politik. Siauw pada 1950-1966 menjadi anggota Parlemen mewakili keturunan Tionghoa. Siauw merupakan seorang patriot yang sejak usia muda secara ikhlas mempertaruhkan nyawanya bagi Indonesia Merdeka. Seorang idealis yang tak pernah mengejar kekayaan materi tapi ternyata terpeleset. Karena amat sangat tidak berhati-hati dalam memilih teman, massa seketurunannya menjadi “makanan empuk” kaum komunis, yang sudah lama terkenal kelihaian dan tipu muslihatnya di bidang Politik.

John Lie (1911-1988): Menerobos Blokade Belanda
John Lie, penerima Bintang Mahaputra Utama itu adalah sosok manusia Indonesia yang bukan saja mahir dalam kelautan, tetapi juga senantiasa bersandar pada Tuhan dengan rajin berdoa dalam menjalankan tugasnya. Ia adalah sosok yang berhasil menyelaraskan imannya dengan menyelundupkan senjata bagi perjuangan tetapi sekaligus membawa dua Alkitabnya di atas kapal yang sama. Wajar jika kemudian almarhum Jenderal Besar TNI A.H. Nasution berkata, “John Lie adalah perwira domine. Ketaatannya kepada Tuhan Allah adalah lebih tinggi daripada kepada manusia siapapun.”

ᴥ Yap Thiam Hien ( 1913 – 1989 ) : Pejuang Hak Asasi Manusia
Yap lahir di Banda Aceh, 25 Mei 1913. Setamat dari Europeesche Lagere School (SD untuk anak Eropa) pada 1926, ia meneruskan pelajarannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs ( MULO ), juga di Banda Aceh, lalu menyebrang lautan ke tanah Jawa. Di Jogjakarta ia masuk AMS A-II (setingkat SMA), dimana ia menyelesaikan pendidikannya di jurusan Sastra Barat pada 1933. Selesai tahun 1934 ia mulai mengajar di pelbagai sekolah. Pada 1946 ia berangkat ke Negeri Belanda untuk melanjutkan studinya di Leiden dan setahun kemudian berhasil menggondol gelar Meester in de Rechten. Sejak 1949 hingga akhir hidupnya, advokat menjadi profesinya. Demikian Prof. Dr Leo Suryadinata dalam bukunya Mencari identitas nasional dari Tjoe Bou San sampai Yap Thiam Hien.

ᴥ Soe Hok Gie  ( 1942 – 1969 ) : Sang Demonstran
Soe Hok Gie lahir pada 17 Desember 1942. Ia adalah putera ke4 dari keluarga penulis produktif Soe Lie Piet alias Salan Sutrawan. Soe Hok Gie berperawakan kecil tapi bercita- cita besar. Sayang, ia meninggal dunia dalam usia muda, sehari sebelum HUT-nya yang ke- 27 ( 16 Desember 1969 ) di Gunung Semeru. Tahun – tahun antara 1967 – 1969 merupakan masa yang produktif bagI Soe Hok Gie. Pada saat itu yang terjadi di tanah air adalah periode transisional pada tingkat elit kekuasaan: Orde Lama ke Orde Baru.

ᴥ Tjung Tin Jan ( 1919 – 1984 ) : Indonesia Bukan Amerika
Mr Tjung Tin Jan ( Jani Arsadjaja ) lahir di Bangka, 9 Februari 1919. Sebelum diangkat menjadi wakil jaksa di Pangkal Pinang ia bekerja di suatu perusahaan  telpon dan kemudian menjadi pengacara. Pada 1949 ia mendirikan cabang PT Bangka dan bertindak sebagai pemimpin. Pada 1950 ia diangkat sebagai anggota DPR-RIS mewakili Bangka; 1950 – 1953 menjadi anggota DPR mewakili Partai Demokrat Tionghoa Indonesia; 1953 bergabung dengan Partai Katolik dan mewakilinya dalam DPR (sampai 1960). Pada 1953-1959 menjadi anggota DPP Partai Katolik dan 1956-1958 menjadi wakil wakil ketua II. 1955-1961 menjabat menjadi Direktur PT Tambang Emas Cikotok dan PT Logam Emas; 1961-1968 menjabat Direktur Perusahaan- perusahaan Pertambangan Negara dan 1968-1974 menjabat Direktur Keuangan PN Aneka Tambang.

ᴥ Tabunaan ( 1918- 1989 ) : Problema Sinica
Tabunaan ( Tan Boen Aan / Adil Ismail ) lahir Banjarmasin, 14 Agustus 1918, memperoleh gelar Ir dari Techinische Hooegeschool, Bandung. Problema Sinica di Indonesia dan Masalah Warga Negara Asing dan Orang- Orang Tanpa Negara Ditinjau dari Sudut Sosial Budaya.
Masalah tersebut di Indonesia memperlihatkan 2 aspek : Yang menyangkut golongan orang- orang Tionghoa asing, warga Negara R.R.T, Yang menyangkut golongan orang- orang Warga Negara Indonesia asal Keturunan Tionghoa.
Ada banyak sebab- sebab mengapa proses asimilasi itu tidak berjalan lancar: Perbedaan kebudayaan yang besar, Perbedaan agama dan lain sebagainya.

OEI JONG TJIOE 1907-1985 (Penasehat Bung Karno)
Oei Jong Tjioe lahir ditulungagung, 20 juli 1907. Setelah memperoleh gelar Mr dari Universitas Leiden, Belanda, pada 1935 ia berpraktik sebagai pengacara disurabaya dan menjadi anggota dewan provinsi jawa timur, pada 1946 ia bergabung dengan Republik. Dalam kapasitasnya sebagai penasehat tersebut Mr Oei ikut berangkat ke Den haag pada 1949 utuk hadir dalam sidang-sidang konfrensi meja bundar. Pada 1953, atas saran Bung Hatta, di Pulau Belitung dibangun industri keramik (keramik Indonesia-KIA) berskala kecil dengan teknologi Jepang. Pada 18 maret 1946 di Gedung REX Malang oleh Hua Chiao Hsieh Chu Tse Ai Hui telah diselenggarakan rapat umum untuk merundingkan cara bagaimana peredaran ekonomi di Indonesia, salah satu program dari pemerintah Republik Indonesia adalah selainnya berjuang untuk mempertegakkan kedaulatannya, pun berikhtiar memperbaiki peredaran ekonominya. Pada zaman Belanda, kedudukan kaum buruh Indonesia sangat rendah, Sedangkan Pada zaman Jepang kaum buruh Indonesia alami penderitaan sangat hebat. Sekarang kaum buruh Indonesia memasuki zaman merdeka. Mr Oei membicarakan soal para petani yang harus menyumbang pada Negeri hasil buminya, terutam padi. Pada dewasa ini bangsa Tionghoa punya usaha pun tidak punya rechtzekerheid atau jamian tentang hak berusaha, itulah sebabnya bangsa Tionghoa ragu-ragu mengeluarkan modalnya untuk melipat gandakan produksi apa saja.

H. MASAGUNG 1927-1996 (Mencerdaskan Bangsa)
H. Masagung yang nama aslinya Tjio Wie Thay, lahir di Jakarta 18 September 1927. Pendidikan formalnya hanya SD berbahasa Belanda, namun ia bergerak dibidang Perbukuan dan Penerbitan. Pada 1953 ia mendirikan PT Gunung Agung yang memiliki toko-toko buku, bahkan mempunyai cabang di luar negeri. Sejak 1976 ia beralih Agama dari Hindu Dharma ke Islam, lalu aktif dalam usaha “Mengharumkan Agama Islam”. Ia secara ikhlas sudah mewariskan PT Gunung Agung serta usaha-usaha lainnya pada putra-putranya sepeninggal almarhumah Ibu Ayu Agung. Ayu Agung mendirikan toko buku Wali Songo di Kwitang, yang bernama “toko buku plus” yang berskala besar di Yogyakarta. Ketika orang sibuk dengan idiom pembangunan material di zaman orde baru, Masagung mendirikan yayasan Idayu sebuah yayasan yang bergerak pada bidang pelestarian sejarah bangsa. 

YAP TJWAN BING 1910-1988 (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia)
Setelah lulus sebagai Sarjana Farmasi dari Universitas Amsterdam tahun 1939, Yap kelahiran Solo, 31 Oktober 1910, mendirikan apotik di bandung dan kemudian aktif dalam gerakan kemerdekaan Indonesia. Pada bulan Agustus 1945 ia diangkat sebagai anggota panitia persiapan kemerdekaan Indonesia  (PPKI). Badan ini pada tanggal 18 Agustus 1945 mengesahkan UUD 1945, PPKI dibubarkan secara resmi tanggal 27 Agustus 1945 dan pada saat itu juga dibentuk KNIP, yang juga diberi wewenang untuk membuat undang-undang dan menetapkan GBHN. Perhatian politik di Tanah Air dan pergaulannya dengan tokoh-tokoh Nasional membuat Yap dikenal secara luas hingga diangkat sebagai PPKI, KNIP, dan akhirnya menjadi salah satu Pemimpin PNI. Peristiwa 10 Mei 1963 itu menjadi peristiwa yang berat bagi keluarga Yap maupun penduduk keturunan Tionghoa  yang menjadi sasaran pembantaian. Maka dengan berat hati keluarga Yap Hijrah ke Amerika.

TEGUH KARYA 1937-2001 (Badai Pasti Berlalu)
Salah seorang keturunan Tionghoa yang telah berhasil merebut hati rakyat banyak ialah Teguh Karya. Ini dilakukannya melalui Dunia Teater dan Film. Teguh Karya terlahir sebagai Lim Tjoan Hok, dengan nama Baptip Steve Lim. Ia tercatat dalam sejarah sebagai Teaterwan dan Sinemas Indonesia yang kondang. Ia belajar di Akademik Seni Drama Film Indonesia (ASDRAFI)  di Yogya (1954-1956) dan Akademik Teater Nasional Indonesia (ATNI) di Jakarta. Pada 1963 ia belajar di East-West Center, Hawai. Sekembalinya di Indonesia ia mendirikan Teater Populer dan mengadakan pertunjukan regular di Hotel Indonesia. Film pertamanya ialah “Wajah Seorang Laki-Laki” (1971). Dan pada Festival Film Internasional Ke-7 di Hongkong secara khusus ditayangkan 9 film Teguh Karya diantarannya adalah “Dibalik Kelambu”. Kepada mendiang Chairil Anwar (Sastrawan), Almarhum Ismail Marzuki (Komponis), dan Teguh Karya (Sutradara ,Teater, Film, dan Televisi) di Anugerahkan Bintang Budaya Paramadharma.

 Pendapat Kelompok Kami
Bagi kelompok kami, dengan adanya buku ini sangat membantu untuk memotivasi kami dalam melihat sejarah kehidupan TIONGHOA, kita sebagai pelajar yang keturunan Tionghoa dapat menjadi seorang yang bermanfaat untuk kehidupan bermasyarakat serta menjadi pedoman yang sangat kuat baik secara individu maupun kelompok dan bisa lebih mudah dalam bersosialisasi dengan keturunan tionghoa maupun kaum pribumi. Dalam  buku ini juga dijelaskan bahwa dalam mendirikan sebuah usaha harus mempunyai tekad yang kuat, disiplin dan tidak pantang menyerah serta teguh dalam menentukan pilihan.
Saran Kelompok Kami
Dalam buku ini sudah dijelaskan bahwa semua yang berkaitan dalam sejarah tionghoa sudah memiliki sifat-sifat yang baik untuk dicontoh atau ditiru tetapi ada hal yang harus diperbaiki dalam menentukan pilihan atau keputusan yang akan ditentukan misalnya jangan terlalu tergesa-gesa, jangan ceroboh, jangan cepat putus asa,dan  jangan cepat puas diri atas apa yang didapatkan.

0 komentar:

Posting Komentar