Senin, 20 Juni 2016

Resensi Buku "Peradaban Tionghoa Selayang Pandang"



Peradaban Tionghoa Selayang Pandang

Karya : Nio Joe Lan

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia

Tahun : 2013

Tebal Halaman : 364 halaman








Peradapan Tionghoa telah ratusan tahun lamanya mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sebagian ajaran filsafat karya sastra perayaaan hari besar, ilmu dagang, arsitektur, tata cara kematian yang sudah kita ketahui sampai saat ini hingga kulinernya telah berkembang dan menjadi bagian dari budaya Indonesia di masa kini.


Nio Joe Lan (1904-1973), penulis melayu Tionghoa terkemuka di zamannya, dalam buku “Peradaban Tionghoa Selayang Pandang” makna berbagai leluhur atau adat kebiasaan Tionghoa yang sering kita jumpai seperti : peringatan hari-hari besar Tionghoa, makna yang terkandung dalam kebudayaan Tionghoa, pemujaan leluhur dan bakti anak kepada orangtua, peristiwa duka cita dan suka ria Tionghoa, kaligrafi, dan perhitungan shio


Orang Tionghoa mempunyai sebutan-sebutan kekeluargaan terpenting, tetapi dalam sebutan-sebutan keluarga berdasarkan dialek Hokkian, dialek Hakka berbeda maknanya satu sama lain. Seorang Tionghoa menyebut orang yang lebih tua baik laki – laki maupun perempuan dengan sebutan Engko, Empe, Encek, Ai, Ii, emak, omah, dsb meskipun tidak ada hubungan persaudaraan tetapi kita dapat menghormati orang lain yang lebih tua dengan mengangapnya sebagai Kakak dari Ayah serta begitupun sebaliknya.


Makna kehidupan orang tionghoa sangatlah penting bagi kehidupan manusia. Karena manusia memiliki ketertarikan pada, maka tersusunlah kebudayaan pada beberapa bangsa dan agama. Kepercayaan Tionghoa tentang apa yang dipandang sebagai agama. Seperti pengajaran Kung Tze, Tiong Hoa Hwee Koan dan konfusianisme (Kong Huchu), Taoisme Lao Tze, pemujaan berhala Budhistis di dalam rumah, Kuan Yin, Taopekkong – pelindung, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan sembahyang. Ini merupakan tradisi atas kepercayan leluhur Orang Tionghoa. Pada dasarnya orang Tionghoa memiliki kepercayaan bahwa ia memiliki perlindungan oleh Tuhan Yang Maha Esa.


Orang Tionghoa memiliki kebiasaan untuk menghormati leluhurnya dengan cara menyajikan makanan untuk mendiang orang yang telah meninggal. Hal ini sudah dilakukan sebelum zaman Kung Tze. Dengan aggapan bahwa arwah manusia yang hidup terus akan dilindungi oleh arwah leluhur. Orang Tionghoa menyebut bakti. Bagi orang Tionghoa bakti terhadap orang tua menunjukkan sifat yang diterima anak tersebut apabila orang tuanya baik maka anaknya tidak akan mewarisi hal yang berkejauhan. Dalam pengajaran Kung Tze pemujaan leluhur dengan memelihara abu dirumah merupakan bakti, kewajiban tersebut harus diturunkan kepada anak laki-laki sebagai pewaris sehingga pada jaman ini memiliki anak laki-laki diharuskan. Kaligrafi yaitu ilmu menulis huruf indah. Dalam menulis huruf tionghoa seseorang harus memiliki perasaan dan dalam penulisannya menggunakan alat yang bernama ‘pit’ agar tulisan tersebut terlihat indah.


Hari raya Tionghoa berhubungan dengan hari ulang tahun dewa-dewa yang dipuja oleh bangsa tionghoa. Tetapi di Indonesia tidak semua hari raya tionghoa dirayakan secara meriah. Hari raya tionghoa yang biasanya dirayakan diIndonesia yaitu Imlek yang merupakan hari tahun barunya orang tionghoa, Tjap Go Meh biasanya orang tionghoa melakukan sembahyang ‘sam kai’ yaitu sembahyang kepada langit, bumi dan manusia, Tjeng Beng biasanya orang tionghoa mengunjungi makam leluhur ataupun keluarga yang sudah meninggal dengan mengurusnya dan bersembahyang leluhur, Phetjun karena phet itu artinya 100 serta jun yang artinya perahu biasanya orang tionghoa merayakan dengan mengadakan perlombaan berupa 100 perahu berbentuk naga diatas air dan perayaan peristiwa munculnya bacang.


atau yang disebut siu-I ‘baju panjang umur’. Orang tionghoa mengartikan wafat seperti sebuah kiasan lain yang juga banyak digunakan ialah bahwa berpesiar ke kalangan dewa-dewa ataupun menunggang seekor burung bangau, dimana kedua itu mempunyai asal Taoistis. Satu antara hal yang dilakukan pertama-tama dalam soal kematian ialah membeli sebuah alat penancap batang dupa ‘hio-lou’ yang ditempatkan diatas meja yang ditaruh disamping jenazah dekat kakinya. Selain itu anggota keluarga memakai pakaian dari kain belacu putih yang dikenakan terbalik dan juga kopiah dengan bahan itu pula untuk para anak dan menantu laki-laki. Sembahyang yang diadakan dalam upacara kematian adalah sembahyang masuk peti, sembahyang menggeser peti, sembahyang hari kubur yang dimana sebuah semangka dipecahkan yang kata nya untuk dibawa keakhirat nanti dan dipersembahkan kepada Giam Lo ong ‘Raja akhirat’. Setelah itu diadakannya sembahyang tujuh hari yakni membakar rumah-rumahan kertas mobil/motor kertas dan sebagainya. Dalam perkabungan tersebut perkabungan enteng dinamakan memakai biru sedangkan perkabungan besar disebut memakai putih dengan lama nya 3 tahun menurut peraturan peradaban tionghoa. Dan juga ada bongpay yang merupakan peradaban tionghoa sudah dari sejak SM berupa cara penghormatan yang dilakukan dengan menuliskan isi dari silsilah keluarga yang berhubungan serta juga adanya sian koong (untuk 2 orang), dan sian boong (untuk 1 orang).


Shio, 12 Jenis Binatang Perhitungan Tahun. Bangsa tionghoa menghitung jarak waktu dengan kesatuan yang terdiri atas 60 tahun, tiap kesatuan itu terjadi dari 5 kali 12 tahun. Ke dua belas tahun ini dilambangkan masing-masing dengan seekor binatang ‘Cap ji shio’ yakni tikus, kerbau, harimau, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, kera, ayam, anjing dan babi. Pergantian tahun melibatkan pergantian shio dimana umur seseorang dapat dihitung dilihat berdasarkan shio. Perbedaan 6 tahun untuk perjodohan dalam perhitungan shio sangat pantang oleh orang tionghoa. Selain itu juga terdapat pantangan – pantangan ciong pada shio – shio tertentu yang tidak boleh dilakukan saat ciong terjadi.


Sastra Indonesia-Tionghoa itu sampai pada suatu batas bertalian agak erat dengan penerjemahan hasil sastra Tiongkok ke dalam bahasa Melayu-Rendah. Penerjemah cerita-cerita rakyat Tiongkok ini ke dalam bahsa Melayu-Rendah telah dimulai pada akhir abad ke-19. Tiongkok tidaklah terlalu dikenal oleh kebanyakan orang Tionghoa kelahiran Indonesia. Bahkan hampir sebagai sebah negri asing begi mereka.


Simbolik Tionghoa dalam Indonesia cukup banyak dan mengandung makna tersendiri dari setiap simbol, seperti : burung bangau dan buah pir melambangkan umur panjang, pohon bambu lambang keuletan, naga lambang kekuasaan kekasisaran, kelelawar lambang bahagia, ikan lambang berlbih-lebihan, pohon cinta kasih, dan sepasang kupu-kupu lambang cinta kekal.Dan pada akhir buku ini menjelaskan tentang kehidupan kesenian orang Tionghoa dari beberapa hasil seni Tiongkok yang terjadi dalam kehidupan orang tionghoa di Indonesia. Orang Tionghoa datang ke Indonesia dengan membawa kepercayaan mereka, Budhistis maupun Taoistis dengan beradaptasi pada budaya asli Indonesia yang berakulturasi dan dengan seiring perkembangan zaman. Ras asli Indonesia perlahan mengetahui adat istiadat ras Tionghoa.












0 komentar:

Posting Komentar