Senin, 20 Juni 2016

Resensi Buku "Peradaban Tionghoa Selayang Pandang"



Peradaban Tionghoa Selayang Pandang

Karya : Nio Joe Lan

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia

Tahun : 2013

Tebal Halaman : 364 halaman








Peradapan Tionghoa telah ratusan tahun lamanya mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sebagian ajaran filsafat karya sastra perayaaan hari besar, ilmu dagang, arsitektur, tata cara kematian yang sudah kita ketahui sampai saat ini hingga kulinernya telah berkembang dan menjadi bagian dari budaya Indonesia di masa kini.


Nio Joe Lan (1904-1973), penulis melayu Tionghoa terkemuka di zamannya, dalam buku “Peradaban Tionghoa Selayang Pandang” makna berbagai leluhur atau adat kebiasaan Tionghoa yang sering kita jumpai seperti : peringatan hari-hari besar Tionghoa, makna yang terkandung dalam kebudayaan Tionghoa, pemujaan leluhur dan bakti anak kepada orangtua, peristiwa duka cita dan suka ria Tionghoa, kaligrafi, dan perhitungan shio


Orang Tionghoa mempunyai sebutan-sebutan kekeluargaan terpenting, tetapi dalam sebutan-sebutan keluarga berdasarkan dialek Hokkian, dialek Hakka berbeda maknanya satu sama lain. Seorang Tionghoa menyebut orang yang lebih tua baik laki – laki maupun perempuan dengan sebutan Engko, Empe, Encek, Ai, Ii, emak, omah, dsb meskipun tidak ada hubungan persaudaraan tetapi kita dapat menghormati orang lain yang lebih tua dengan mengangapnya sebagai Kakak dari Ayah serta begitupun sebaliknya.


Makna kehidupan orang tionghoa sangatlah penting bagi kehidupan manusia. Karena manusia memiliki ketertarikan pada, maka tersusunlah kebudayaan pada beberapa bangsa dan agama. Kepercayaan Tionghoa tentang apa yang dipandang sebagai agama. Seperti pengajaran Kung Tze, Tiong Hoa Hwee Koan dan konfusianisme (Kong Huchu), Taoisme Lao Tze, pemujaan berhala Budhistis di dalam rumah, Kuan Yin, Taopekkong – pelindung, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan sembahyang. Ini merupakan tradisi atas kepercayan leluhur Orang Tionghoa. Pada dasarnya orang Tionghoa memiliki kepercayaan bahwa ia memiliki perlindungan oleh Tuhan Yang Maha Esa.


Orang Tionghoa memiliki kebiasaan untuk menghormati leluhurnya dengan cara menyajikan makanan untuk mendiang orang yang telah meninggal. Hal ini sudah dilakukan sebelum zaman Kung Tze. Dengan aggapan bahwa arwah manusia yang hidup terus akan dilindungi oleh arwah leluhur. Orang Tionghoa menyebut bakti. Bagi orang Tionghoa bakti terhadap orang tua menunjukkan sifat yang diterima anak tersebut apabila orang tuanya baik maka anaknya tidak akan mewarisi hal yang berkejauhan. Dalam pengajaran Kung Tze pemujaan leluhur dengan memelihara abu dirumah merupakan bakti, kewajiban tersebut harus diturunkan kepada anak laki-laki sebagai pewaris sehingga pada jaman ini memiliki anak laki-laki diharuskan. Kaligrafi yaitu ilmu menulis huruf indah. Dalam menulis huruf tionghoa seseorang harus memiliki perasaan dan dalam penulisannya menggunakan alat yang bernama ‘pit’ agar tulisan tersebut terlihat indah.


Hari raya Tionghoa berhubungan dengan hari ulang tahun dewa-dewa yang dipuja oleh bangsa tionghoa. Tetapi di Indonesia tidak semua hari raya tionghoa dirayakan secara meriah. Hari raya tionghoa yang biasanya dirayakan diIndonesia yaitu Imlek yang merupakan hari tahun barunya orang tionghoa, Tjap Go Meh biasanya orang tionghoa melakukan sembahyang ‘sam kai’ yaitu sembahyang kepada langit, bumi dan manusia, Tjeng Beng biasanya orang tionghoa mengunjungi makam leluhur ataupun keluarga yang sudah meninggal dengan mengurusnya dan bersembahyang leluhur, Phetjun karena phet itu artinya 100 serta jun yang artinya perahu biasanya orang tionghoa merayakan dengan mengadakan perlombaan berupa 100 perahu berbentuk naga diatas air dan perayaan peristiwa munculnya bacang.


atau yang disebut siu-I ‘baju panjang umur’. Orang tionghoa mengartikan wafat seperti sebuah kiasan lain yang juga banyak digunakan ialah bahwa berpesiar ke kalangan dewa-dewa ataupun menunggang seekor burung bangau, dimana kedua itu mempunyai asal Taoistis. Satu antara hal yang dilakukan pertama-tama dalam soal kematian ialah membeli sebuah alat penancap batang dupa ‘hio-lou’ yang ditempatkan diatas meja yang ditaruh disamping jenazah dekat kakinya. Selain itu anggota keluarga memakai pakaian dari kain belacu putih yang dikenakan terbalik dan juga kopiah dengan bahan itu pula untuk para anak dan menantu laki-laki. Sembahyang yang diadakan dalam upacara kematian adalah sembahyang masuk peti, sembahyang menggeser peti, sembahyang hari kubur yang dimana sebuah semangka dipecahkan yang kata nya untuk dibawa keakhirat nanti dan dipersembahkan kepada Giam Lo ong ‘Raja akhirat’. Setelah itu diadakannya sembahyang tujuh hari yakni membakar rumah-rumahan kertas mobil/motor kertas dan sebagainya. Dalam perkabungan tersebut perkabungan enteng dinamakan memakai biru sedangkan perkabungan besar disebut memakai putih dengan lama nya 3 tahun menurut peraturan peradaban tionghoa. Dan juga ada bongpay yang merupakan peradaban tionghoa sudah dari sejak SM berupa cara penghormatan yang dilakukan dengan menuliskan isi dari silsilah keluarga yang berhubungan serta juga adanya sian koong (untuk 2 orang), dan sian boong (untuk 1 orang).


Shio, 12 Jenis Binatang Perhitungan Tahun. Bangsa tionghoa menghitung jarak waktu dengan kesatuan yang terdiri atas 60 tahun, tiap kesatuan itu terjadi dari 5 kali 12 tahun. Ke dua belas tahun ini dilambangkan masing-masing dengan seekor binatang ‘Cap ji shio’ yakni tikus, kerbau, harimau, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, kera, ayam, anjing dan babi. Pergantian tahun melibatkan pergantian shio dimana umur seseorang dapat dihitung dilihat berdasarkan shio. Perbedaan 6 tahun untuk perjodohan dalam perhitungan shio sangat pantang oleh orang tionghoa. Selain itu juga terdapat pantangan – pantangan ciong pada shio – shio tertentu yang tidak boleh dilakukan saat ciong terjadi.


Sastra Indonesia-Tionghoa itu sampai pada suatu batas bertalian agak erat dengan penerjemahan hasil sastra Tiongkok ke dalam bahasa Melayu-Rendah. Penerjemah cerita-cerita rakyat Tiongkok ini ke dalam bahsa Melayu-Rendah telah dimulai pada akhir abad ke-19. Tiongkok tidaklah terlalu dikenal oleh kebanyakan orang Tionghoa kelahiran Indonesia. Bahkan hampir sebagai sebah negri asing begi mereka.


Simbolik Tionghoa dalam Indonesia cukup banyak dan mengandung makna tersendiri dari setiap simbol, seperti : burung bangau dan buah pir melambangkan umur panjang, pohon bambu lambang keuletan, naga lambang kekuasaan kekasisaran, kelelawar lambang bahagia, ikan lambang berlbih-lebihan, pohon cinta kasih, dan sepasang kupu-kupu lambang cinta kekal.Dan pada akhir buku ini menjelaskan tentang kehidupan kesenian orang Tionghoa dari beberapa hasil seni Tiongkok yang terjadi dalam kehidupan orang tionghoa di Indonesia. Orang Tionghoa datang ke Indonesia dengan membawa kepercayaan mereka, Budhistis maupun Taoistis dengan beradaptasi pada budaya asli Indonesia yang berakulturasi dan dengan seiring perkembangan zaman. Ras asli Indonesia perlahan mengetahui adat istiadat ras Tionghoa.












Sabtu, 18 Juni 2016

Peh Cun 2016



BACANG
Sejarah Bacang

Pada zaman dahulu di Tiongkok, negeri Qin adalah paling kuat dan agresif sehingga sering melakukan serangan terhadap enam negeri lainnya. Qu Yuan adalah seorang menteri besar yang adil, setia, dan yang jujur.  Qu Yuan adalah tokoh yang berhasil menyatukan enam negeri untuk menghadapi agresi negeri qin, sehingga namanya disegani di negeri qin. Pada masa Zhan Guo, Raja Chu Huai menolak prakarsa Qu Yuan untuk berkoalisi dengan Negara Qi dan berperang melawan Qin, namum diperdayai oleh Zhang Yi ke Negara Qin, ia dipaksa merelakan wilayah berikut kota-kotanya. Raja Qu Huai selain merasa dipermalukan juga terhina, menjadi risau hatinya dan tak lama terserang penyakit dan mangkat di Negara Qi. Qu Yuan pernah menghalangi Raja Chu Huai Wang untuk memenuhi undangan raja negeri qin ke ibukotanya. Namun Raja Chu Huai Wang telah di adu domba dari negeri qin, sehingga hubungan dengan Qu Yuan menjadi renggang dan tidak mempercayai saran Qu Yuan. Akhirnya Qu Yuan menceburkan  diri ke sungai Mi Luo dan beberapa nelayan yang mengetahuinya berusaha menolong tetapi tidak berhasil. Jenazah Qu Yuan tidak ditemukan dan ia meninggal pada usia 62 tahun. Seluruh negeri chu bersedih saat mengetahui Qu Yuan meninggal, lalu seluruh rakyat mencarinya dengan 100 perahu yang disebut Peh Cun. Karena pada saat Peh Cun air sungai sangat tenang sehingga bisa melihat hingga ke dasar sungai dikarenakan bumi, matahari dan bulan sejajar. Namun mereka tidak berhasil menemukan jenazahnya.  Saat Qu Yuan menceburkan diri ke sungai mi luo, ada seorang bertemu dengan arwah Qu Yuan bahwa rakyat-rakyat yang menghormati Qu Yuan sehingga seluruh rakyat menggunakan tambur untuk memanggil hewan-hewan disungai lalu melempar nasi yang dimasukkan ke daun bambu ke sungai supaya dimakan oleh ikan, udang dan hewan lainnya sehingga hewan-hewan tersebut tidak memakan jenazah Qu Yuan. Maka Qu Yuan berpesan kepada orang itu untuk menyampaikan kepada seluruh orang supaya mempersembahkan makanan yang dibungkus dengan daun bambu dan dipersembahkan setiap tanggal 5 bulan 5 imlek.  

Resensi Film "Tanda Tanya"

Sutradara : Hanung Bramantyo
Produser : Celerina Judisari, Hanung Bramantyo
Penulis : Titien Wattimena
Pemain : Reza Rahadian, Revalina S. Temat, Agus Kuncoro dkk


Film "tanda tanya " memiliki fokus pada hubungan antar agama di Indonesia, sebuah negara di mana konflik agama menjadi hal yang umum, dan ada sejarah panjang kekerasan dan diskriminasi terhadap Tionghoa Indonesia. Alur cerita film menceritakan tentang tiga keluarga yang tinggal di sebuah desa di Semarang, Jawa Tengah: keluarga Tionghoa-Indonesia dan beragama Buddha, Tan Kat Sun (Hengky Solaiman) dan anaknya Hendra (Rio Dewanto), pasangan muslim, Soleh (Reza Rahadian) dan Menuk (Revalina S. Temat), dan seorang konver Katolik Rika (Endhita) dan Abi anaknya yang seorang Muslim.

Sun dan Hendra menjalankan sebuah restoran masakan Tionghoa yang menyajikan daging babi, yang dilarang bagi umat Islam, meskipun restoran memiliki klien dan staf Muslim. Untuk memastikan hubungan baik dengan karyawan muslim dan pelanggannya, Sun menggunakan peralatan khusus untuk mempersiapkan daging babi di mana ia tidak mengizinkannya untuk digunakan untuk hidangan lainnya, dan memungkinkan stafnya memiliki waktu untuk shalat, ia juga memberi mereka liburan selama Idul Fitri, hari libur Muslim yang terbesar. Salah satu karyawannya adalah Menuk, yang mendukung Soleh, suaminya yang menganggur. Rika adalah teman Menuk dan terlibat dengan seorang aktor muslim yang gagal, Surya (Agus Kuncoro).

Pada usia 70-an, Sun jatuh sakit, dan restoran diambil alih oleh Hendra, yang memutuskan itu akan melayani secara eksklusif masakan dari daging babi dan mengasingkan pelanggan Muslimnya. Hendra masuk ke dalam konflik dengan Soleh atas Menuk, Hendra yang sebelumnya pernah menjadi kekasihnya. Menuk menjadi semakin tertekan setelah Soleh mengatakan kepadanya bahwa ia berencana untuk menceraikannya, dan mereka didorong untuk berpisah. Rika merasa stres karena bagaimana dia telah dirawat oleh tetangganya dan keluarganya yang telah berpindah agama ke Katolik dari Islam, Abi juga menghadapi pengucilan. Sementara itu, Surya dan Doni (Glenn Fredly) bersaing untuk kasih sayangnya. Surya marah atas kegagalan untuk menemukan pekerjaan akting yang baik.

Soleh bergabung dengan kelompok amal Islam, Nahdlatul Ulama (NU), berharap untuk mendapatkan kepercayaan. Meskipun ia awalnya enggan untuk melindungi keamanan gereja, ia akhirnya mengorbankan hidupnya ketika ia menemukan bom telah ditanam di sebuah gereja Katolik. Dia bergegas keluar dengan bom, yang meledak di luar gereja, membunuh Soleh tapi jauh dari jemaat. Sun meninggal ketika restoran, yang saat itu tidak tutup untuk menghormati Idul Fitri, diserang oleh sekelompok umat Islam. Setelah serangan itu, Hendra membaca 99 Nama Allah dan memeluk Islam, ia mencoba untuk mendekati Menuk, meskipun tidak jelas apakah ia akan menerima dia. Surya menerima tawaran dari Rika untuk memainkan peran Yesus di gerejanya pada saat perayaan Natal dan Paskah, di mana ia menerima bayaran yang tinggi setelah ragu-ragu karena takut bahwa hal itu akan bertentangan dengan agamanya, setelah perayaan tersebut dia membaca Al-Ikhlas di dalam masjid. Rika mampu memperoleh restu orangtuanya untuk perpindahan agamanya.

Pendapat saya kalau dari sudut pandang, saya sempat berfikir bahwa film ini memang bisa "menyesatkan". Akan tetapi penilaian saya perdalam lagi setelah memahami isi pesan film secara keseluruhan. Ternyata nilai dari sebuah perbedaan itu sangat berharga, kita diedukasi dan ditantang untuk dewasa di tengah masyarakat yang plural ini.

Saran : Bagi yang sudah menonton tetapi belum mengerti jangan terlalu mebeda bedakan agama satu sama lain.Walaupun beda agama dan kepercayaan, tapi mereka ( penganut agama lain )juga manusia yang harus dihargai. Permusuhan agama,bukan karena agama itu sendiri tapi karena orang- orang yang mengatasnamakan agama untuk kepentingan pribadi.

Rabu, 15 Juni 2016

Pertanyaan yang sering muncul dalam adat istiadat Tionghoa

Mengapa Imlek, Cengbeng dan Peh Cun diakui dalam agama Tao, Khunghucu dan Buddha?
Jawaban:

Menurut pendapat kami, Cengbeng, peh cun dan imlek sebenarnya tidak ada kaitannya dengan agama Tao dan Buddha karena ajaran Tao itu banyak yang berpendapat seperti ajaran mistis dan sekarang ajaran Tao sudak tidak ada lagi karena kitab suci Tao sudah dibakar. Sedangkan agama Buddha pun tidak ada kaitannya dalam Imlek, Cengbeng dan Peh Cun karena Pangeran Siddharta Gotama lahir di India sehingga tidak tau-menau tentang tradisi seperti ini, tetapi bila umat Buddha mau melaksanakan tradisi ini tidak ada larangannya karena agama Buddha sifatnya Universal. Dan yang terakhir agama Khonghucu, khonghucu sering disebut sebagai Kong Jiao atau Ru Jiao. Agama Konghucu menetapkan Tahun Baru Imlek sebagai hari raya keagamaan resmi dan kalender Imlek pertama kali diciptakan oleh Huang Di seorang Nabi Agung dalam agama Khonghucu, Cengbeng itu sendiri tradisi dari agama Khonghucu untuk mengajarkan setiap anak untuk memiliki rasa bakti kepada kedua orang tua atau para leluhur dengan cara melakukan tradisi ceng beng setiap tahunnya. Sedangkan Peh Cun dalam agama khonghucu sudah ada sejak dahulu tradisi ini dilakukan setiap tanggal 5 bulan 5 penanggalan imlek, sehingga tradisi Peh Cun lebih diakui dalam agama Khonghucu

Kamis, 09 Juni 2016

Resensi Film History of China Benteng

Film Dokumenter Durasi 9.30 menit

History of China Benteng

Di Tangerang ada sekelompok etnis yang dapat dikatakan menarik yaitu etnis Cina Benteng. persebaran Cina Benteng di Tangerang cukup banyak, seperti di Mauk, Neglasari, Karawaci dan tempat lainnya. Yang paling menonjol adalah masyrakat Cina Benteng yang tinggal di tepi sungai Cisadane. Umumnya, mereka memiliki kulit sawo matang atau gelap, mata tidak terlalu sipit, tidak bisa berbahasa Cina dan perekonomian yang kurang memadai dibandingkan dengan etnis Tionghoa yang lain yang ada di Indonesia.

Warga Cina Benteng dikenal hidup sebagai petani, pedagang, peternak, nelayan. Sebagian bersuami/istri penduduk asli dari Indonesia, sehingga tradisi mereka telah berakulturasi dengan tradisi kaum Pribumi, tak terkecuali dalam bidang kesenian seperti cokek dan gambang kromong.

Kini, tanpa kita sadari keberadaan warga Cina Benteng seringkali tersingkirkan dari kehidupan hiruk pikuk kota Tangerang. Padahal, banyak hal yang dapat dibanggakan dari keturunan Etnis Tionghoa ini. Mereka tetap melestarikan budaya leluhur dan tradisi Tiongkok. Kehadirannya dapat dijumpai dengan “meja abu” yang terletak di dalam rumah masing-masing, dimana para anggota dapat menjalankan ritual penghormatan kepada arwah keluarga yang sudah meninggal. Selain itu, upacara pesta perkawinan pasangan Cina Benteng dilakukan sebanyak dua kali. Pesta tersebut dibedakan berdasarkan perbedaan makanan yang disajikan. Bagi non-Muslim biasanya disajikan babi panggang Tangerang dan minuman Bir. Pada pesta perkawinan juga dimeriahkan dengan musik Gambang Keromong dengan lagu-lagu favorit seperti : Cinte manis berdiri, pecah piring, semar gurem dan onde-onde, dsb. Disertai pula tarian Cokek yang umumnya datang dari daerah sekita Krawang yang dianggap belum “afdol” jika tidak ada penari cokek yang terlihat sensual itu
1. Peh Cun.
Warga Cina Tangerang masih merayakan tradisi Peh Cun diisi dengan perlombaan perahu naga di Sungai Cisadane yang membentang tenang. Peh Cun merupakan sebuah tradisi yang diadakan sejak tahun 1911 di Indonesia yang sempat terhenti pada tahun 1965 akibat geger politik.
Perayaan Cap Go Meh menjadi ciri khas warga Tangerang yang dirayakan sebagai upaya pengenalan keagamaan dan keyakinan Warga Tiongjoa terhadap budaya Tiongkok yang sudah dilaksanakan secara turun temurun.
Bertempat di Klenteng Boen Tek Bio, yang berada di Jalan Bakti No.14 Kawasan Pasar Lama, Tangerang, acara dimeriahkan dengan ttarian Barongsai yang lucu dan energik, tarian liong yang meliuk-liuk diiringi tabuhan genderang, serta perpaduan suara gong dan gemerincing yang menambah kemeriahan acara tersebut.
2.     Cio Tao
Cio Tao merupakan pernikahan berdasarkan adat di kebudayaan masyarakat Chinese. Biasanya kegiatan Cio Tao ini diadakan di rumah pengantin masing-masing di pagi hari, sepagi mungkin. Mengapa? Karena konon, aapabila melakukan adat ini di siang hari, rezeki untuk pengantin itu bisa habis.. Oleh karena itu, Cio Tao harus dilakukan pagi hari.
Di dalam kegiatan Cio Tao ada beberapa ritual yang dilakukan. Seperti contohnya sembahyang, menginjak nampan yang berwarna merah dan bergambar Yin dan Yang, menyisir rambut, sawer uang, dan masih banyak lagi. Berikut ini akan saya bahas satu per satu.
Pertama-tama biasanya orang tua dari mempelai akan melakukan sembahyang terhadap leluhur, kemudian dilanjutkan dengan penuangan arak sebanyak 3 kali ke lantai.
Setelah orang tua mempelai yang melakukan sembahyang, barulah si mempelai yang melakukan sembahyang kepada leluhur.
Setelah itu pengantin akan dibawa masuk dan diminta untuk duduk di sebuah kursi dengan kakinya berada di dalam sebuah nampah. Nampah yang berwarna merah dan terdapat gambar Yin dan Yang. Ketika pengantin menginjak nenampah itu, dilarang menggeser nenampah itu sama sekali.
Setelah itu ada seorang anak kecil dari pihak pengantin, yang dinamakan secek. Secek ini diminta untuk menyisir rambut pengantin dari bawah kepala sampai ke kaki. Konon katanya mengapa harus disisir sampai ke kaki? Agar suatu saat dalam menjalani bahtera rumah tangga, apabila ada cekcok sedikit bisa langsung diluruskan saja dengan baik-baik.
Setelah itu pengantin akan duduk bersama secek dan memakan semangkuk nasi dengan 12 macam lauk pauk yang berbeda menggunakan sumpit.
Nah, sehabis sesi makan nasi dengan 12 lauk pauk ini, dilanjutkan dengan memakan nasi dengan gula, nah pas makan gnasi cocol gula ini disuapin sama orang tua masing-masing mempelai. Mungkin hal ini dimaksudkan agar nanti selama menjalani bahtera rumah tangga manis-manis terus jalannya seperti gula..
Selanjutnya, dilanjutkan dengan acara saweran.. Pengantin akan berjalan berdampingan melalui pintu masuk, kemudian orang yang paling tua disana akan melemparkan uang receh, nah barang siapa orang yang bisa mengambil uang recehnya, itu menjadi hak mereka. Konon, uang itu lebih baik agar tidak dibelanjakan, karena bisa mendatangkan hoki.
Kemudian, pengantin akan saling suap-menyuapi semangkuk onde. Onde makanan yang terbuat dari sagu dan tepung terigu, dilengkapi dnegan gula cair hingga rasanya manis.
Acara yang terakhir adalah pengantin akan bersembahyang kepada leluhur secara bersama-sama atau berdampingan. Nah, dengan menjalani beberapa ritual Cio Tao tersebut, secara adat mereka sudah dianggap sah sebagai suami istri.
3.  Anak Wayang
Tari Cokek termasuk jenis tari-tarian yang lazim dipertunjukan masyarakat Banten di kawasan Tangerang. Tarian Cokek pertama kali diperkenalkan seorang tuan tanah keturunan Tionghoa, Tan Sio Kek. Menurut kisahnya, Tan Sio Kek kerap menyelenggarakan pesta di kediamannya dan mengundang orang para musisi dari daratan Cina dengan membawa alat musik dari negara asalnya.

Alat musik yang dimainkan musisi dari Cina yakni Rebab Dua Dawai, selain itu ketiga musisi itu memainkan alat tradisional Tangerang seperti Seruling, Gong dan kendang. Untuk meramaikan suasana, Tan Sio Kek menampilkan tiga perempuan menari mengikuti alunan musik dari para musisi. Para tamu yang menghadiri pesta itu menyebut penari-penari sebagai Cokek. Namun, ada meyakini Cokek itu nama dari salah satu anak buah Tan Sio Kek. Sejak saat itu masyarakat Tangerang, Banten mulai kenal Tari Cokek.
Tarian Cokek biasanya dimainkan oleh sepuluh orang penari wanita, dan tujuh orang laki-laki pemegang gamang kromong, alat musik yang mengiringinya. Tari Cokek merupakan jenis tarian khas yang berasal dari daerah Tangerang yang pada awalnya berkembang di daerah betawi. Di daerah Tangerang, tari Cokek biasanya dimainkan sebagai pertunjukkan hiburan saat warga Cina benteng menyelenggarakan acara, khususnya acara pernikahan. Oleh warga Tionghoa di Tangerang, Tari Cokek disebut sebagai tari penyambutan tamu.
Keunikan Tari Cokek terlihat pada gerakan tubuh penarinya yang bergerak perlahan-lahan sehingga mudah untuk diikuti oleh penonton. Gerakan tarian tari Cokek ini kemudian akan dilanjutkan dengan ajakan pada para penonton untuk ikut bergabung menari. Ajakan pada para penonton itu dilakukan dengan cara mengalungkan selendang ke leher sambil menariknya maju ke depan atau ke panggung.
Ajakan itu umumnya ditujukan kepada pemuka masyarakat atau orang kaya yang hadir pada acara itu. Proses menari bersama ini dilakukan berdekatan antara penari dengan penonton, tetapi tidak saling bersentuhan.
Tak dapat dipungkiri, Cina Benteng memiliki banyak budaya dan tradisi, tetapi sering kali terlupakan, bahkan oleh warga Tionghoa sendiri. Sehingga dengan film ini, diharapkan masyrakat dapat lebih mengenal sebagian kecil dari budaya Cina Benteng yang masih ada di Indonesia hingga saat ini.

Resensi Fillm Sapu Tangan Fangyin





Produser  : Denny JA & Hanung Bramantyo
Sutradara  : Karin Bintaro
Pemain  :Leony Vitria, Reza Nangin, Elkie Kwee, Selly Hasan
Durasi  : 47:38 Menit


Sinopsis

Sapu Tangan Fang Yin berkisah tentang kehidupan seorang gadis keturunan Cina ‘mata sipit’ yang hidup pada era 1998. Fang Yin (Leony Vitria) dikisahkan sebagai gadis yang memiliki kepekaan sosial tinggi. Hal itu ditunjukan dengan kegemarannya berbagi dengan anak-anak jalanan di ibu kota. Ia dan kekasihnya, Albert (Reza Nangin), memiliki mimpi untuk mendirikan sebuah yayasan yatim piatu agar dapat menampung anak-anak jalanan. Sayangnya, mimpi itu gagal terwujud karena terjadinya peristiwa Mei 1998. Ketika itu negeri berjalan tanpa pemerintahan. Unjuk rasa berubah menjadi unjuk kekerasan. Kaum minoritas, terutama Tionghoa, dibunuh. Mereka mengalami kekerasan seksual akibat diperkosa, termasuk Fang Yin.
            Ayah Fang Yin (Elkie Kwee) terus mencari keadilan untuk membela hak putrinya. Tetapi aparat kepolisian maupun badan penegak hukum lainnya tak dapat berbuat apa-apa. Fang Yin sekeluarga akhirnya memutuskan untuk hijrah ke Amerika. Mereka berharap mendapat perlindungan hukum dan kehidupan yang lebih baik disana, dimana diskriminasi etnis tidak lagi berlaku.

Fang Yin melewati minggu-minggu pertama di Amerika dengan hambar. Ia masih mengalami trauma berkepanjangan atas peristiwa pemerkosaan itu. Kesedihannya kian membuncah ketika mengingat kekasihnya, Albert. Untuk menyembuhkan jiwanya, ayah Fang Yin mendatangkan seorang psikolog bernama Raisa (Selly Hasan). Raisa menjadi kawan baik Fang Yin selama di Amerika. Atas usul Raisa juga lah, Fang Yin akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di OTIS College of Art and Design.
            Kehidupan baru Fang Yin telah dimulai. Tetapi kesakitan masa silamnya lagi-lagi belum juga hilang. Kebencian Fang Yin merambah tidak hanya pada peristiwa pemerkosaan itu, namun juga pada negeri dimana ia kehilangan kehormatannya: Indonesia. Begitu bencinya ia pada Indonesia, sampai-sampai ia tidak mau lagi menginjakan kaki disana. Sekalipun kedua orang tuanya telah memutuskan untuk kembali ke Indonesia, Fang Yin lebih memilih untuk tinggal di Amerika. Ia membenci Indonesia berikut orang-orang disana.
Setelah belasan tahun berlalu, Fang Yin akhirnya memberanikan diri untuk melihat Indonesia melalui layar internet. Ia melihat Indonesia baru dengan kacamata yang berbeda. Diskriminasi etnis Tionghoa tidak lagi terjadi disana. Beberapa kursi kementrian diduduki oleh orang-orang Tionghoa, barongsae bebas melenggak-lenggok dimana-mana, koran berbahasa China diterbitkan, imlek dijadikan hari besar nasional, dan sebagainya. Kenangan masa lalu nya di Indonesia bercampur aduk dengan nasihat-nasihat bijak kakek Fang Yin semasa ia masih kecil dulu. Ia terkenang kampung halaman. Ia rindu Indonesia. Indonesia masuk kembali ke dalam kalbunya. Ia bakar sapu tangan tempat ia menyimpan air matanya, pertanda bahwa kebenciannya pada Indonesia sudah mulai reda. Fang Yin pun pulang ke Indonesia.





Pendapat :

Film Sapu Tangan Fang Yin bagus untuk ditonton karena banyak mengandung makna dan pesan moral yang berguna untuk pembangunan bangsa dan negara. Film ini mengajarkan kita untuk tidak mendiskriminasi satu sama lain. Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai macam ras, budaya, dan etnis yang berbeda. Tidak seharusnya kita menjadikan perbedaan ini sebagai pemecah persatuan dan kesatuan Negara Indonesia.

Rasa kemanusiaan yang tinggi harus ditanamkan kepada anak bangsa sejak dini. Keadilan untuk seluruh masyarakat Indonesia yang harus diperbaiki. Dan seharusnya lebih baik mengurangi diskriminasi daripada memperbaiki diskriminasi yang sudah terjadi, luka masa lalu akan terus terngiang di dalam ingatan mereka.


Saran :

Film ini memiliki edukasi yang tinggi terhadap masyarakat. Film ini mengajarkan kepada kita sebagai warga Negara harus saling menghormati apapun Ras, budaya, etnik dan suku. Dan kita harus memiliki rasa toleransi yang tinggi terhadap sesama. Film ini juga memberikan kritik kepada Negara untuk menyetarakan hak dan kewajiban dari warga Negara nya yaitu adalah kesamaan kedudukan dan perlindungan.